Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini
PPI terbuka dengan inisiatif pergantian partner sepanjang didapatkan yang terbaik untuk Proyek dan dilakukan dengan prudent. Terdapat dua kondisi yang harus di-manage terkait hal ini, yaitu:
i. Exmar menuntut kompensasi sebesar US$ 30 Juta, namun dengan negosiasi yang dilakukan oleh PPI, akhirnya dicapai kesepakatan sebesar USD 4 Juta, (terdapat saving USD 1 Juta dari angka yang disepakati di internal Konsorsium yaitu USD 5 Juta); ii. MOL bukan 1st rank winner pada pemilihan partner FSRU tahun 2017.
Baca Juga: 19 proyek EBT kesulitan pendanaan, ESDM: Kami terus dorong
Dengan penawaran management fee yang lebih tinggi dibanding Exmar, dan pengalaman teknis MOL untuk operasi FSRU belum menyaingi pengalaman Exmar, maka PPI menilai perlu dilakukan negosiasi atas commercial package MOL.
Proses negosiasi dengan MOL sangat alot dan memakan waktu karena PPI tidak mendapatkan full support dari Sojitz dan Marubeni. Pada akhirnya PPI berhasil memperoleh cost reduction 37.5% dari proposal terakhir MOL (setara USD 16,4 Juta) serta membuat MOL setuju membayar sebagian kompensasi ke Exmar sebesar US$ 1 Juta.
Marubeni (dan didukung Sojitz) selalu berargumen bahwa dorongan ke Konsorsium untuk langsung ‘menyerah’ dan menerima proposal awal dari third party karena adanya concern tata waktu. Di lain pihak, PPI mempunyai komitmen bahwa concern Proyek bukan hanya pada tata waktu, namun juga aspek efisiensi, dan kualitas (yang menjadi filosofi dan parameter keberhasilan proyek terutama pada tahap 2: construction, agar Proyek on-budget, on time, dan on-quality).
Terbukti bahwa PPI selalu berhasil mengelola 3 aspek tersebut dengan baik, dengan diperolehnya penghematan sebesar USD 62 Juta sehingga terjadi pengingkatan EIRR, namun progress Proyek tetap dapat dicapai dengan baik, yaitu 29.5% vs 28.9% (actual vs plan), ahead 0.6% (ref. laporan Agustus 2019).
PPI juga tetap berkomitmen kepada manajemen Pertamina untuk tetap mengupayakan peningkatan EIRR agar kembali ke “zona hijau”.
Baca Juga: Ini langkah PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB) mendorong proyek energi terbarukan
Saat ini masih terdapat potensi penghematan sebesar US$ 48.2 Juta dalam bentuk contingency budget (dianggarkan dalam financial model) dimana jika tidak terjadi change order dan cost overrun, maka dapat meningkatkan EIRR secara signifikan.
Dari historikal dan kronologis tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa kompleksitas dan kekisruhan yang terjadi dalam Program Apresiasi ini lebih disebabkan oleh mentalitas para partners tersebut yang tidak mampu memahami dan menghargai partner lainnya, yang tercermin dari:
1. Inkonsistensi. PPI pada akhirnya setuju dengan konsep yang diusulkan Marubeni, namun justru mereka melakukan complaint kepada Pertamina Korporat (atas usulan Program Apresiasi). Marubeni tidak memahami, bahwa bahkan sebelum memasuki tahap 1 (mekanisme pengambilan keputusan sesuai Lampiran 1), PPI sudah melakukan sounding ke korporat untuk tahap 5, 6, dan 7.
2. Superiority atas partner lainnya. Marubeni meremehkan kapabilitas dan komitmen PPI dalam compliance serta dalam menjalankan sistem dan mekanisme pengambilan keputusan untuk isu-isu reserved matters dimana Pertamina merupakan Ultimate Shareholder PPI (Lampiran 1).
Baca Juga: Produksi migas Pertamina EP (PEP) kuartal III-2019 naik 106%
3. Underestimate profesionalitas PPI. Permintaan Marubeni melakukan pertemuan 4 mata dengan Direktur Utama PPI yang diikuti dengan pengajuan usulan besaran program apresiasi di bawah tangan yang hanya diperuntukkan bagi Direksi PPI (tidak termasuk pekerja PPI dan Komisaris), dapat dinilai sebagai upaya bribery. Pada pertemuan 4 mata tersebut, disampaikan oleh Direktur Utama PPI berulang kali agar hal ini dibahas pada RUPS sesuai dengan UUPT 40/2007.
Korespondensi dan proses audit investigasi ini diharapkan dapat menempatkan persoalan dengan baik, serta menjadi rujukan bagi PPI dan para stakeholder-nya dalam melakukan partnership, baik pada proyek-proyek yang sedang ditangani ataupun ke depannya.
PPI harus dapat menjamin dirinya sendiri bahwa business partners-nya adalah trustworthy companies dan mempunyai pandangan dan filosofi bisnis yang sama sehingga tidak terjebak dengan kompleksitas masalah ethic, transparency, dan honesty yang akhirnya mengarah pada praktek-praktek kecurangan.
Surat ini ditembuskan kepada Direktur Manajemen Risiko dan Investasi PT Pertamina dan Komisaris Pertamina Power Indonesia. Ginanjar Direktur Utama Pertamina Power Indonesia masih irit bicara soal surat yang tersebar di media itu. "Semua tercatat, itu saja yang bisa saya katakan," kata dia singkat ke Kontan.co.id Minggu (3/11).
Sementara, Fahmy Radhi Pengamat Ekonomi Energi UGM mengatakan, Pembangkit Jawa-1 merupakan bagian yang penting dalam proyek 35.000 MW. Kisruh internal, pencopotan Ginanjar, berpotensi menghambat realisasi proyek 35.000 MW.
Baca Juga: Dari Karaha, Perusahaan Milik Siswono Digugat Pailit Perusahaan Asal Selandia Baru
"Menteri ESDM dan BUMN harus turun tangan menyelesaukan kisruh internal tersebut. Kalau perlu membatalkan pemecatan Ginanjar, yang sudah terbukti berhasil dalam pembangunan pembangkit," dia kepada Kontan.co.id, Minggu (3/11).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News