Reporter: Azis Husaini | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Sejak tahun 1998, proyek Blok Masela sampai tahun 2022 atau sudah 24 tahun belum juga jalan. Proyek ini banyak melakukan revisi proposal pengembangan dan juga berganti kepemilikan.
Tahun 1998, Inpex Corporation, melalui anak perusahaannya Inpex Masela Ltd, mendapat kontrak bagi hasil dengan skema product sharing contract (PSC) selama 30 tahun dalam mengoperasikan blok Masela.
Pemegang saham Blok Masela adalah Inpex dengan 60% saham. Selebihnya, sebanyak 30% dipegang Shell Upstream Overseas SEvices Ltd, dan 10% saham dimiliki oleh EMP Energi Indonesia, anak usaha PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG).
Pada 2000, Inpex berhasil menemukan gas, dengan cadangan terbukti yang diperkirakan mencapai sekitar 27,6 trillion cubic feet (tcf) gas. Dalam perjalanan itu, pada 28 Mei 2013, Bakrie menjual 10% saham kepada Inpex dan Shell. Alhasil ada perubahan kepemilikan saham, Inpex menjadi 65% dan Shell 35%.
Kemudian pada tahun 2010 saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Impex Masela mempersiapkan POD untuk eksplorasi dan eksploitasi dengan skema offshore, penggunaan skema Kilang Terapung di lepas Pantai.
Namun, pada 2016 skema proyek Masela diubah menjadi onshore dari sebelumnya offshore. Sejak saat itulah kemudian proyek terbengkalai. Sampai pada akhirnya Shell menjual 35% sahamnya dan sampai saat ini belum ada pembeli. Kemudian muncul ide untuk membeli saham Shell di Blok Masela dengan menggunakan konsorsium Pertamina, INA, dan perusahaan swasta. Namun demikian, bisa saja ada penumpang gelap dalam pembelian saham blok yang kaya akan gas ini.
Untuk mengulas ini KONTAN mewawancarai Ginanjar Praktisi di Industri LNG dan Clean Energy, sebelumnya Ginanjar adalah Direktur Utama PT Pertamina Power Indonesia (PPI).
KONTAN: Bagaimana menurut Anda soal proyek Masela. Kenapa Shell menjual 35% sahamnya? Apakah karena tidak menarik bagi Shell karena diubah dari Offshore ke Onshore?
GINANJAR: Hanya Shell yang tahu. Tetapi kita bisa tarik ke text book atau philosophy bisnis secara umum saja. Tentu ada rasionalitas bisnis dibalik itu. Perlu diingat, tanpa ingin menonjolkan kompleksitas bisnis atau proyek LNG dibanding yang lainnya, ada common-ground yg hrs difahami, khususnya di proyek sejenis Masela, antara lain:
1. High Technology Project. Apalagi Masela ini deepwater, untuk kelas proyek LNG yg umum saja sudah memerlukan kapabilitas dan teknologi tinggi.
2. High investment. Proyek LNG memerlukan investasi tinggi, sekali lagi ini deep water.
3. Skema Bisnis LNG: Harus terintegrasi dari Hulu ke Hilir jauh ke end user. Bisa saja kita gunakan Skema upstream atau downstream, tapi tetap seluruh mata rantai bisnis-nya harus terintegsi dalam satu mata rantai kontrak ketat dan air-tight atau kedap udara.
4. Market security, alias jaminan offtake dari reliable buyers. Siapa dan dimana marketnya? Proyek-proyek LNG memerlukan paling tidak 90% jaminan offtake volume selama umur proyek atau project lifetime, rata-rata 20thn. Ini akan mempengaruhi risk exposure proyek.
5. Project Timing & Timeline Project. Yaitu COD atau tanggal mulai operasi-nya proyek. Anda akan dan bakal masuk di Buyer Market atau Seller Market? Ini akan menentukan seberapa ketat ke-ekonomian proyek.
6. Harga LNG dan Project Economic atau keekonomian proyek. In-line dengan diatas, kita harus hati-hati dalam mem-proyeksikan Harga LNG. Sekarang boleh saja harga tinggi, tapi apakah tahun 2027 atau 2030 kita akan berada disituasi market yang sama? Harus juga dilihat apakah akan ada beberapa proyek lain di dunia yang mulai on-stream dan bagaimana impact-nya terhadap supply harga energy dan LNG dunia.
Seluruh komponen dan pertimbangan diatas secara komprehensif, biasanya kita sebut TechNomic, akan berdampak pada kelayakan proyek atau project feasibility. Kalkulasi dan iterasi TechNomic juga akan mementukan desain dan skema bisnis proyek yang paling tepat. Karakteristik proyek Masela mempunyai sensitifitas yang tinggi terhadap keekonomian atau kelayakan proyek.
Pertimbangan atas komponen-komponen dan kalkulasi TechNomic diata juga akan sangat menentukan desain dan skema bisnis Masela antara lain:
1. Off-shore atau On-Shore?
2. Domestik Market? Export atau dicari Best Combination-nya?
Jadi kalau mau tahu mengapa Shell mundur, anda tinggal buatkan saja checklist dengan basis komponen-komponen diatas dan dilengkapi dengan traffic Light model: Hijau, Kuning dan Merah. Anda ajukan ke Shell untuk diisi. Untuk perusahaan-perusahaan yang sangat prudent seperti mereka, satu komponen saja ada merahnya, maka proyek dinilai tidak Feasible.
KONTAN: Seberapa besar kebutuhan gas/LNG bagi Indonesia? Mengapa sekarang lebih banyak ketemu lapangan migas dari pada minyak? Lantas kenapa proyek Masela sulit jalan? Apa yang salah?
GINANJAR: Kebutuhan LNG Indonesia, anda bisa lihat di Neraca Gas Indonesia. Begini, pernah dipanggil, di approach dan diajak diskusi oleh beberapa pihak. They are industry players, cukup besar dan butuh supply LNG dalam skala bedar dan jangka panjang. Apakah “demand” tersebut sudah masuk dalam kalkulasi Neraca Gas Indonesia? Saya tidak tahu. Yang lebih penting kita ketahui adalah, apakah permintaan dan kebutuhan mereka itu real dan serius? Atau hanya sekedar mencari informasi dan berandai-andai? Saya juga dikontak dan diajak diskusi oleh beberapa pihak yang ingin mengetahui potensi pasar LNG domestik Indonesia dengan pasokan import dari sumber-sumber luar negeri.
Kalau kita perhatikan, dan kalau kita anggap ini semua real dan serius, maka ada mismatch antara ketiga aspek bisnis LNG Indonesia, yaitu:
1. Kemampuan supply gas atau LNG Indonesia untuk pasar domestik.
2. Kredibilitas dan Kapabilitas demand gas atau LNG domestik Indonesia. Apakah real dan merupakan market LNG yang reliable?
3. Keseriusan para pemain LNG internasional untuk memasok kebutuhan pasar LNG domestik Indonesia, dengan segala kompleksitas-nya, dan tentunya mirroring-nya adalah keseriusan Indonesia untuk masuk ke clean energy?
Anggap saja ketiga hal diatas adalah real, apakah diperlukan good integrator? Atau dilepas ke mekanisme pasar? Kita harus hati-hati juga dengan konsep integrator, sering malah jadi kontra-produktif. Jika kita lepas ke mekanisme pasar, then tetap saja akan sebuah konsep atau sistem, tapi mind-set atau filosofi-nya adalah enabler, bukan bloker. Makanya tidak perlu dalam bentuk lembaga atau institusi tapi lebih ke regulasi yang mendukung mekanisme pasar yang positive dan terbuka, namanya juga enabler, bukan blocker.
KONTAN: Pemerintah akan meminta Pertamina membeli 35% saham Shell yang akan dijual denga konsorsium INA/SWF bersama perusahaan swasta. Apa Pertamina tidak sanggup sendiri?
GINANJAR: Sanggup, Pertamina harus memahami, menyadari dan mampu meng-impose leverage-nya. pertamina memang bukan seven sister atau big boys, tetapi Pertamina mempunya keunikan dan leveragenya sendiri. Orang boleh bilang Pertamina tidak punya uang, convenant-nya sudah hampir mentok atau masuk limit, itu cara padang konvensional dan hanya melihat dari buku perusahaan, atau orang yang tidak mau melihat Pertamina tumbuh dan besar. That company has its own branding and image dan dari situlah leverage Pertamina muncul.
Jangan lupa, Proyek IPP Jawa-1 dengan operator Pertamina itu 98% pendanaanya dari lending atau konsorsium lenders: :
-Sebesar 76% adalah Project Financing
-Sebesar 22% adalah Equity Bridge Loan
Artinya, anda hanya butuh 2% equity untuk membangun proyek dengan investasi US$ 1,8 miliar dan jangan lupa Pertamina itu lead consorsiumnya. Itu untuk proyek yang sebetulnya Pertamina sama sekali baru di bisnis ini, new comer. Di proyek LNG Pertamina justru merupakan pioneer dan kiblat bisnis LNG pada jamannya. Saya tidak khawatir dengan masalah financing, saya lebih concern dengan masalah kapabilitas teknis dan disiplin proyek.
KONTAN: Bagaimana dengan kapabiltas teknis dan disiplin proyek Pertamina?
GINANJAR: Kapabilitas teknis adalah pemahaman dan penguasaan teknologi termasuk terapannya. Kita tidak bisa memaksakan konsep dan desain proyek atau operational-scheme proyek kalau teknologinya bukan milik kita dan kita tidak memahami filosofi teknis-ekonomis teknologi tersebut.
Bukan berarti kita harus mengembangkan dan memiliki teknologi-nya sendiri. Tapi, aplikasi atau terapan teknologi tidak pernah terlepas dari kalkulasi keekonomian proyek.
Ada 2 pendekatan dalam setiap inisiasi atau pengembangan proyek, terlepas dari fakta bhw sumber daya alamnya kita kuasai dan proyeknya berlokasi di negeri kita:
1. Jika kita menguasai teknologinya, definitely kita menggunakan pendekatan idealis. Teknologi kita bangun atau desain untuk mengikuti desain atau konsep proyek yang kita inginkan. Misal, pilihan antara off-shore vs on-shore, atau operational-scheme alternatif lainnya.
2. Jika kita kita tidak memiliki teknologinya, pilihannya ada di kita; compromise atau menunggu sampai kita temukan dan kuasai teknologinya.
Compromise adalah bentuk pendekatan pragmatis. Lagi-lagi, terserah kepada kita, dan menjadi pilihan kita: monetasi sumber alam kita sesegera mungkin untuk pembangunan ekonomi atau, kita simpan di perut bumi dulu sebagai cadangan dan tabungan masa depan sampai dengan teknologinya kita kuasai atau temukan nanti.
Yang harus kita cermati dan waspadai adalah dinamika global dan peta bisnis energy dunia, contoh sederhana, sebagian besar belahan dunia sudah tidak mau menggunakan batubara lagi. Jangan-jangan, beberapa tahun kedepan, dunia tidak akan mau menerima fossil based energy lagi, walaupun itu clean fossil seperti gas atau LNG.
Untuk disiplin proyek, saya bisa salah, tapi seingat dan sepemahaman saya, Pertamina mempunyai tradisi delay project. Anda boleh list-up proyek-proyek Pertamina, apakah ada yg on schedule? Bahkan proyek sederhana dan sudah matang-pun masih delay. Ini harus jadi bahan introspeksi kita dan secara jujur mau menggali akar masalahnya.
Kita bisa lakukan telaah di 3 area disiplin:
1. Sponsor Discipline. Disiplin para sponsor atau project owners. Ini adalah masalah komitmen dan partnership spirit para sponsor untuk bekerjasama dan mengembangkan bisnis atau proyek. Friksi bisa terjadi bila terdapat perbedaan visi para sponsor.
2. Disiplin Organisasi (Proyek). Disiplin dan interaksi sehat organisasi proyek dan element-element organisasi didalamnya yang mewakili para sponsor atau project owners. Sering terjadi, masing masing elemen di dalam organisasi proyek hanya mewakili kepentingan induk perusahaanya dan bahkan para afiliasi-nya. Distorsi sering terjadi di level ini dan menjadi sangat contra-productive.
3. Disiplin Individu. Harus dipastikan bahwa setiap key person di proyek bersangkutan faham mengapa dan untuk apa mereka ada di proyek. Harus dihindari para free-raiders, serta orang-orang yang tanpa sadar sebenarnya hanya meng-impose agenda personal mereka sehingga membebani proyek.
Ada contoh konkrit yang masih segar dan merupakan contoh comprehensive dari ketiga hal tersebut. Proyek IPP Jawa-1 seharusnya sudah collapse pada saat salah satu dari Partner kami melakukan kesalahan kalkulasi sehingga keekonomian proyek kami jatuh ke Zona Merah, artinya proyek tidak bisa dilanjutkan karena keekonomian proyek jatuh jauh dibawah batas bawah keekonomian proyek.
Kesalahan juga ada di pihak dan team Pertamina karena lalai masuk ke daerah detail sehingga tidak ada yang mengoreksi kesalahan yang dibuat oleh salah satu partner, they just take it for granted. Namun, proyek tetap berjalan karena Pertamina saat itu berhasil mengambil komitment para partner dan supporting partner (GE, Samsung C&T, Samsung Heavy Industry dan Meindo) untuk melakukan cost cutting lebih dari $120 juta. Keekonomian proyek akhirnya naik ke Zona Kuning, meskipun sangat tipis diatas batas bawah Zona Kuning. Kuncinya adalah leadership.
KONTAN: Anda begitu percaya diri dengan kemampuan Pertamina di aspek Financing?
GINANJAR: Setelah Financial Closure PLTGU Jawa-1 dicapai, Managing Director JBIC datang ke Jakarta dan menemui saya di kantor PPI, dia bilang bahwa mereka ingin bekerjasama dengan Pertamina di proyek-proyek lainnga (unlimmited); “we want to be naked to Pertamina”, itu yang dia sampaikan. Jadi, once Pertamina inisiate, masuk atau develope suatu proyek, saya jamin lenders lining-up. There is a magic behind Pertamina name and good people behind that brand who want to make something than ordinary stuff or works. Dengan catatan bahwa proyek-proyek tersebut di-inisiasi dan dibangun pure dengan basis business perspective dan professionalism. Tidak ada agenda lain kecuali bisnis, dan ada jaminan tidak ada gangguan angin samping. Kemampuan atau kesanggupan Pertamina tersebut jangan dilihat dari buku Keuangan Pertamina secara text book atau harfiah. Structure proyek bisa didesain sedemikian rupa sehingga lenders confident dengan kita.
KONTAN: Apakah jika membeli saham memakai konsorsium malah sulit mengambil keputusan? Padahal bisnis Masela sudah mangkrak 24 tahun? Apa yang harus dilakukan?
GINANJAR: Filosofi Partnership adalah “pure and simple”, “The simpler the better”. Partnership atau konsorsium harus dibuat se-simple dan se-kompak mungkin. Makin banyak partner, makin banyak tarik menarik kepentingan dan makin komplek peng-organisasian serta management konsorsium-nya. Pengalaman kita, Tiga member konsorsium saja sudah bikin kita frustrasi dan lost temper, apalagi lebih dari itu. Konsorsium hanya boleh di-isi oleh partner-partner sesuai dengan kapasitan dan kapabilitas yang diperlukan. Dan umumnya hanya di-isi oleh para partner dengan kapabilitas teknis-bisnis, oleh karena itu kita namakan Project Consortium atau dalam istilah lain adalah Project Developer.
Pertanyaan anda apakah lenders harus masuk ke konsorsium proyek? Jawaban saya NO. Financier sebenarnya akan membentuk konsorsiumnya sendiri, dan mereka juga tidak berminat masuk ke konsorsium proyek. Mengapa? Conflict of interest yang justru akan merugikan mereka sendiri. Jika mereka bergabung di Project Consortium maka mereka tidak akan dapat mengalokasikan risiko. Terjadi konflik antara peran mereka sebagai lender dan dilain pihak sebagai project developer!
Jadi dalam sebuah project besar, minimal akan terdiri dari 3 konsorsium, yaitu:
1. Project Consortium
2. EPC Consortium biasa saya sebut sbg Supporting Partners
3. Lender consortium: financiers
Lalu dimana Pertamina harus berada? Jelas di Project Consortium, bukan di Lenders Club. Kalau memang ada club yang ingin membantu Pertamina dalam financing, then mereka bisa membentuk konsorsium-nya sendiri dan menjadi supporting ke Project Consortium, bukan hanya Pertamina.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News