kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Krisis energi sudah di depan mata, ini saran ke pemerintah


Minggu, 01 November 2020 / 17:26 WIB
Krisis energi sudah di depan mata, ini saran ke pemerintah
ILUSTRASI. Kriris energi sudah di depan mata, ini saran ke pemerintah .


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengembangan energi baru dan terbarukan harus dilakukan secara konsisten dengan perhatian khusus pemerintah. Praktisi Migas, Elan Biantoro mengatakan, hal ini diperlukan karena menjadi bagian dari ketahanan nasional.

"Krisis energi di negara kita sudah di depan mata. Dimana kita sudah jadi net importir minyak, dan sebentar lagi akan menjadi importir gas alam," ujarnya dalam keterangannya, Minggu (1/11).

Menurut Elan, menurunnya produksi minyak nasional secara konsisten merupakan hal wajar. Karena tidak ada upaya dari pihak terkait meningkatkan kapasitas lapangan eksisting. Mau pun upaya menemukan cadangan baru melalui eksplorasi.

"Sejak tahun 2000-an, produksi minyak kita konsisten menurun. Kecuali tahun 2013/2014 sedikit naik, lalu turun lagi. Kenaikan 2013/2014 itu pun karena mulai berproduksinya Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu, yang saat ini masih menyumbangkan lebih dari 25 persen produksi minyak nasional," terang Elan.

Baca Juga: Urgensi Jangka Pendek

Lalu bagaimana caranya untuk upaya menaikkan produksi nasional? Ada tiga hal yang disampaikan Elan.

"Pertama, untuk menahan laju penurunan produksi supaya tidak terlalu tajam, lakukan optimalisasi lapangan eksisting secara tepat dan good engineering practices. Melalui well service, work over, perawatan dan penggantian sufface facilities agar efisien dan mencegah adanya unplanned shutdown," terangnya.

Langkah Kedua, lanjut Elan, lakukan upaya secondary recovery di lapangan. Secara tepat teknologi, tepat anggaran, tepat sasaran, dan target. Hal ini tidak mudah. Karena perlu dipegang oleh para profesional yang tepat. "Mulai dari pemberi kebijakan alias regulator (ESDM), pengawas dan pengendali KKKS (SKK Migas), para KKKS, dan perusahaan pendukung usaha hulu migas," tuturnya.

Upaya Ketiga, sejarah peningkatan produksi di Indonesia, hampir selalu diawali dengan adanya penemuan berskala raksasa (giant discovery) yang kemudian dikembangkan menjadi giant fields. Contohnya, Minas, Duri, Mahakam, Suban, Arun, Tangguh BP, Banyu Urip. Namun, ada juga peningkatan produksi signifikan karena penerapan EOR Duri Steam Flood di Blok Rokan.

"Upaya-upaya ketiga hal ini, punya prasyarat utama yaitu kondusifnya iklim investasi hulu migas yang baik. Ditunjang kondisi global seperti harga crude oil yang bagus (tinggi)," urai mantan Kabag Humas SKK Migas tersebut.

Baca Juga: PLN bisa pegang kendali proyek pembangkit di Blok Rokan, bagaimana nasib PPI?

Selain itu, lanjutnya, pengusaha dalam negeri, seperti Pertamina perlu meningkatkan produksi migasnya.

Elan mengungkapkan, ada semacam "State of the Art" untuk mendorong Pertamina meningkatkan produksinya. "Pertamina harus meningkatkan kelasnya menjadi perusahaan kelas global," imbuh mantan Kabag humas SKK Migas itu.

Elan juga mengingatkan pemerintah agar memperbesar bauran energi dari energi baru dan terbarukan. Karena hal ini diatur dalam Kebijakan Energi Nasional/Rencana Umum Energi Nasional (KEN/RUEN) yang disusun oleh Dewan Energi Nasional (DEN). Kebijakan ini diketuai Presiden RI, Joko Widodo, dengan Menteri ESDM sebagai Ketua Harian.

"Semua konsep dan rencana yang disusun DEN tersebut, tentunya harus secara konsisten dieksekusi dengan baik oleh para pihak yang dipimpin oleh 'The right person at the right position'," tegasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno mengatakan, permasalahan di industri migas di Tanah Air relatif klasik.

Menurut Eddy, permasalahan tidak hanya di sektor penurunan konsisten lifting migas. Namun, banyak juga investor migas besar hengkang dari Indonesia. Imbasnya, men-trigger, penurunan lifting migas, dan berpotensi habis dalam 15 tahun mendatang.

"Solusinya perlu investasi siginifikan dari pengusaha dalam negeri. Pertamina perlu meningkatkan produksi migasnya," ujarnya, beberapa waktu lalu.

Eddy menjelaskan, perlu insentif serta perangkat hukum guna menarik investor besar masuk ke Indonesia. Selain itu, lanjutnya, bauran energi juga perlu diperbesar dari energi baru dan terbarukan. Termasuk pemanfaatan energi matahari, angin, geothermal yang cukup tinggi di Indonesia.

"Kita berharap dengan produk hukum baru akan mempercepat hadirnya investasi di energi baru dan terbarukan. Agar power energi di sektor energi baru dan terbarukan meningkat siginifikan. Mengingat, energi yang dimanfaatkan baru 2,5 persen dari total potensi 400 Gigawatt yang ada," kata Sekjen DPP PAN ini.

Selanjutnya: Kementerian ESDM dan Kemenhub kerja sama pemanfaatan EBT di bandara

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×