kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Makin dilirik, panas bumi berpotensi jadi backbone energi nasional


Kamis, 29 Juli 2021 / 20:04 WIB
Makin dilirik, panas bumi berpotensi jadi backbone energi nasional
ILUSTRASI. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)


Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Panas bumi dinilai berpotensi menjadi tulang punggung dalam transisi energi ke depannya. Selain potensinya yang terhitung besar, kehadiran regulasi dan insentif dinilai dapat mendorong pemanfaatan panas bumi.

Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengungkapkan Indonesia tergolong lebih agresif dibanding negara lain untuk pengembangan panas bumi.

Saat ini kapasitas PLTP nasional mencapai 2.175 MW dan baru ada tambahan dari PLTP Sorik Marapi. Kendati demikian, diakui upaya pengembangan juga dihadapkan sejumlah tantangan seperti lingkungan dan status kawasan hutan. 

"Tantangan sampai kapanpun akan ada, dinamika masyarakat juga semakin kuat, tapi dengan sinergi berbagai pihak dapat dikelola dengan baik tantangan tersebut," kata Dadan dalam diskusi Urgensi Transisi Energi ke Panas Bumi yang digelar virtual, Kamis (29/7).

Pemerintah, lanjut dia, akan mendukung pengembangan panas bumi dengan berbagai insentif yang dimungkinkan. Tarif yang yang sekarang sedang disusun pemerintah, khususnya dalam bentuk Peraturan Presiden.

Baca Juga: Proyek eksisting masih jadi tulang punggung investasi panas bumi

“Kami pastikan balik modalnya cepat, tapi juga memaksimalkan kemampuan negara, sehingga angka tidak stay di angka yang tinggi. Sedang dipikir, saya ingin seperti yang di migas, ada komitmen untuk menambah cadangan,” ungkap Dadan.

Panas bumi dinilai banyak kemiripan dengan migas, sehingga cadangan semakin bertambah. Eksplorasi yang dilakukan pemerintah sedang berjalan, di Nage dan Cisolok. Ini diharapkan bisa memberikan penyesuaian dari sisi harga.

“Harga panas bumi, saat ini sedang saya lunakan. Saya akan dorong panas bumi yang layak secara keekonomian-nya, sehingga bisa memanfaatkan panas bumi itu sebagai baseload. Keekonomian nya win win dari sisi konsumen dan produsen,” katanya.  

Sementara itu, Direktur Utama PT Geo Dipa Energi Riki F. Ibrahim mengungkapkan harga EBT masih jadi tantangan pasalnya lembaga keuangan yang bersedia memberi pinjaman masih terbatas.

“Saya sampaikan untuk eksplorasi panas bumi itu risikonya tidak sebesar migas. Khusus di lapangan di Indonesia, termasuk yang baru, dari sisi resiko itu 40%, tidak begitu besar,” jelas Riki.

Untuk itu, pengembangan panas bumi harus dilakukan bertahap dan perusahaan yang terjun disana harus yang mempunyai visi dan misi jangka panjang. PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) misalnya sudah melakukan 39-40 tahun untuk pengembangan panas bumi melalui PLTP Kamojang.

Riki pun menilai pemerintah sedang dalam keadaan dilema, ingin mengembangkan EBT dengan harga reliabel, tapi di sisi lain harus memberikan subsidi ke PLN. Untuk itu, pemerintah sedang memikirkan bagaimana jalan keluarnya, seperti ada biaya infrastruktur yang diturunkan dan lainnya. 

"Dibutuhkan akselerasi pengembangan panas bumi untuk mengejar target bauran. Target kita bagaimana bisa mencapai tidak hanya 23%, tapi 50%," sambung Riki.

Baca Juga: Produksi listrik Pertamina Geothermal di tahun 2020 mencapai 4.618 GWh

Anggota Komisi VII DPR Dyah Roro Esti menilai transisi energi tidak serta merta melalui konversi langsung dari energi fosil ke EBT. Melainkan ada proses lain yang harus dilakukan terlebih dahulu.

Salah satunya yakni dengan metode cofiring biomassa PLTU.

"Jadi eksisting PLTU bisa dikonversi menjadi cofiring, lalu ada rooftop. Tidak dipungkiri juga dengan perkembangan-perkembangan yang ada, seperti geothermal,” ungkap dia. 

Dyah mengatakan lebih dari 130 negara di dunia telah berkomitmen untuk mencapai net zero emission pada 2050. Indonesia perlu segera menentukan target dicapainya net zero emission.

Hingga kini masing-masing kementerian masih memiliki target berbeda beda, KLHK 2060, Bapenas 2045-2070, dan PLN 2060. Untuk itu, menurutnya harus ada pandangan yang sama untuk target transisi energi.

Selain itu, Dyah menyoroti rendahnya raihan bauran EBT yang per 2020 baru mencapai 11,2% dari target 23% pada 2025 mendatang.

"Total potensi ada 23,9 GW, realisasi masih minim. Potensi panas bumi ada di Pulau Jawa dan Sumatra. Perlu ada eksplorasi, pengeboran, ini yang perlu kita dorong terus menerus," imbuh Dyah.

Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma menjelaskan pengembangan panas bumi memang lebih rendah dari migas. Kendati demikian, sektor ini pun masih penuh risiko.

“PLN melakukan eksplorasi tiga sumur tidak berhasil, Supreme Energy juga gagal untuk lima sumur di Muara Laboh,” ungkap Surya.

Baca Juga: Pertamina Geothermal anggarkan investasi US$ 58,62 juta di tahun ini

Menurut Surya, pengembangan panas bumi itu tidak bisa dilakukan sendiri, perlu melibatkan berbagai pihak, pelaku usaha, pemerintah, dan investor.

Surya mengatakan peluang pengembangan panas bumi sangat besar dengan melihat potensinya yang besar. Panas bumi harus siap menjadi backbone transisi energi, posisinya lebih banyak dan kuat di Indonesia. Secara ekonomi akan membangkitkan ekonomi di seluruh Indonesia. Bersama dengan air/hydro akan menjadi backbone

“Kalau menjadi backbone, harus pelan-pelan dinaikkan kapasitasnya. Karena menjadi andalan,” pungkas Surya.

Selanjutnya: Investor menanti perpres harga listrik EBT

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×