kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Margin bisnis gas makin tipis, pembangunan infrastruktur baru terancam melambat


Jumat, 27 November 2020 / 17:08 WIB
Margin bisnis gas makin tipis, pembangunan infrastruktur baru terancam melambat
ILUSTRASI. Jaringan pipa Gresik-Semarang memasok gas untuk PLTG Tambak Lorok milik PLN


Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Menipisnya margin bisnis gas bumi dinilai bakal menjadi ancaman bagi pembangunan infratruktur gas bumi. Dengan terbatasnya cadangan minyak, sementara cadangan gas masih sangat melimpah, infrastruktur gas sangat dibutuhkan untuk menjaga ketahanan energi nasional.

Komaidi Notonegoro, Pengamat Energi dari Reforminer Institute mengatakan dengan kondisi harga gas yang murah dan diikuti oleh adanya ketidakjelasan pasar, hal ini tentu akan membuat tingkat Return of Investment (RoI) dari sebuah proyek pembangunan infrastruktur gas bumi menjadi lama. 

"Sebab, ya itu tadi, semakin rendah harga gas, maka semakin tipis margin yang bisa didapat pengembang. Ini yang akan menyulitkan pelaku usaha sulit membangun infrastruktur baru," kata Komaidi, Jumat (27/11). 

Menurutnya penurunan harga gas di tengah masa pandemi virus corona belum memberikan dampak signifikan bagi industri pengguna. Sebab, penurunan harga gas itu tidak mendongkrak volume produksi maupun penjualan industri pengguna gas. 

"Tujuan penurunan harga gas memang baik bagi industri, tapi momentumnya tidak dapat," imbuh Komaidi. 

Menurutnya, penurunan harga gas yang diinisiasi pemerintah lewat Kementerian ESDM sangat terburu-buru. Kebijakan ini terkesan hanya untuk memenuhi peraturan yang sudah lama dibuat tapi tidak kunjung terlaksana. Sebelumnya, kata Komaidi, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. 

Dalam Perpres tersebut, pemerintah menetapkan harga gas bumi yang sebelumnya US$ 7 per Million British Termal Unit (MMBTU) diturunkan menjadi US$ 6 per MMBTU. Pada 6 April 2020 Menteri ESDM merilis Peraturan Menteri ESDM No 8 Tahun 2020 tentang Cara Penetapan Pengguna dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri. 

Pasal 3 ayat 1 peraturan itu mengatur harga gas bumi tertentu di titik serah pengguna gas bumi (plant gate) ditetapkan sebesar US$ 6 per MMBTU.

Ada tujuh sektor industri yang dapat harga khusus dari kebijakan tersebut, yakni industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca dan industri sarung tangan karet. Sebagai dampak kebijakan itu pemerintah merelakan jatahnya dari penjualan migas di hulu dipangkas sekitar US$ 2 per MMBTU.

Kebijakan pemerintah memangkas harga gas bumi untuk industri tertentu di level US$ 6 per MMBTU memang jadi bumerang jika tidak didukung insentif bagi pengembang infrastruktur gas bumi.

Karena, dengan margin yang terbatas, perusahaan akan lebih memilih risiko terendah, yaitu mengelola infrastruktur yang sudah jelas pasokan dan pasarnya.

Harus ada insentif

Komaidi bilang, akan sangat berat jika memaksa perusahaan  yang marginnya dipangkas oleh kebijakan pemerintah untuk membangun infrastruktur gas bumi. Kecuali ada insentif yang memberikan solusi bagi pengembang infrastruktur bahwa bisnis mereka tetap sehat ketika ekspansi," tegas Komaidi.

"Kalau investor melihat investasi di tempat lain, misalnya, bisa dapat IRR 12%, sementara di infrastruktur gas bumi IRR nya lebih rendah, maka tidak akan ada investor yang mau berinvestasi untuk mengembangkan infrastruktur gas," papar dia.

Dengan melambatnya pengembangan infrastruktur gas, pada akhirnya target Pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan gas bumi domestik sulit terealisasi karena infrastrukturnya tidak tumbuh

Pembangunan infrastruktur gas bumi memang memiliki risiko yang besar. Selain faktor ketersediaan pasokan, penyerapan gas oleh konsumen juga menjadi risiko bagi pengembang infrastruktur gas bumi. Sementara biaya pembangunan infrastruktur gas sangat mahal.

Banyak infrastruktur gas yang telah dibangun gagal dioptimalkan karena tidak adanya pasokan dan pasar yang seimbang. Yang terjadi kemudian pengembang infrastruktur gas harus menanggung biaya yang mahal. Kondisi ini yang membuat sedikit sekali perusahaan swasta yang mau membangun infrastruktur gas bumi.

Disisi lain kebijakan harga gas US$ 6 terbukti menguntungkan sejumlah perusahaan swasta. Perusahaan keramik yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI)melaporkan kenaikan laba bersihnya sejak harga baru gas bumi itu diterapkan.

Laba bersih PT Arwana Citramulia Tbk (ARNA) pada kuartal III 2020 melesat 38,31% menjadi  Rp 221,5 miliar dibandingkan periode sama 2019.  hingga kuartal III-2020, naik 38,31% secara tahunan.

Kenaikan laba itu terjadi disaat pendapatan turun 1,1% menjadi Rp 1,61 triliun. Pengatrol utamanya adalah terpangkasnya beban pokok penjualan sebesar 6,6 persen jadi Rp 1,12 triliun.

Selanjutnya: Indonesia perlu bercermin dalam transformasi hulu migas dari negara-negara ini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×