kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Mengenal Piko Hidro, si kecil yang menerangi Papua


Senin, 14 Oktober 2019 / 17:52 WIB
Mengenal Piko Hidro, si kecil yang menerangi Papua
ILUSTRASI. PLN menjalankan program Papua Terang.


Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dibandingkan 32 provinsi lain yang ada di Indonesia, rasio elektrifikasi di Papua dan Papua Barat masih tertinggal. Sesuai data yang dipaparkan Direktur Bina Program Kelistrikan KESDM Jisman S, untuk mencapai Rasio Desa Berlistrik (RDB) 100% di  Provinsi Papua dan Papua Barat pada 2020 nanti, masih ada 414 desa dengan 78.000 rumah yang harus dilistriki. 

Berdasarkan data Kementerian ESDM, Rasio Desa Berlistrik (RDB) di Provinsi Papua dan Papua Barat saat ini adalah 98,3%, yang dicapai melalui kontribusi PLN (48,5%), program LTSHE (Lampu Tenaga Surya Hemat Energi) dari  Kementerian ESDM dan listrik swadaya inisiatif pemda-pemda setempat.  

Baca Juga: Tingkatkan konektivitas, Kominfo dorong pembangunan BTS dan satelit

Sementara tingkat RE nasional PLN yang mencapai 98,86%. PLN berencana mengakhiri kegelapan malam di Papua dengan melistriki 1.724 desa di sana. Dengan demikian, target besarnya pada akhir 2020 rasio elektrifikasi nasional mencapai 99,9%. 

Untuk mewujudkan rencana besar tersebut, langkah awal yang diperlukan adalah merancang survei untuk memetakan system kelistrikan yang tepat untuk pedesaan Papua yang memiliki bentang alam yang sangat beragam. 

Salah satu langkah ambisius yang ditempuh adalah  menggandeng kelompok mahasiswa pencinta alam (Mapala) dari Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Cendrawasih, LAPAN dan TNI AD. Berbagai institusi tersebut dipersatukan ke dalam tim Ekspedisi Papua Terang (EPT). 

Terobosan PLN tersebut rupanya berbuah. Di mana dari target survey 415 desa, tim EPT mampu memetakan sistem kelistrikan yang akan dibangun di 841 desa di Papua dan Papua Barat. 

Kisah putera Papua pertama kali menjejak pedalaman 
Hasil itu tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tim survei harus menempuh perjalanan panjang menggunakan pesawat terbang, mobil dan diakhiri dengan jalan kaki berjam-jam melalui hutan lebat, gunung tinggi, sungai dalam dan ngarai nan terjal. Salah satunya seperti yang dialami Simson Donyadone, mahasiswa program D3 Teknik Elektro Universitas Cendrawasih, Jayapura. Simson tercatat sebagai relawan Tim Ekspedisi Papua Terang batch kedua pada September 2018. 

Baca Juga: Percepat internet daerah terpencil, pemerintah akan bangun 4.000 BTS tahun depan

Uniknya, meski lahir dan besar di tanah Papua, tepatnya di Dupapre, Jayapura, namun Simson sendiri ternyata belum pernah menjejakkan kaki ke kawasan pedalaman Papua. Karena itu mahasiswa 19 tahun itu mengaku bersyukur dapat mengikuti Ekspedisi Papua Terang pada September 2018 lalu. “Saya baru melihat pedalaman Papua saat itu. Sebelumnya saya lebih banyak tinggal di kotanya, di Jayapura,” ujar Simson. 

Karena medan yang luar biasa berat, timnya hanya dapat menyurvei 5 desa dalam waktu seminggu bertugas. Selain faktor medan, masalah akurasi titik lokasi desa pun jadi persoalan. Bekal peta digital yang dikoneksikan ke perangkat Global Positioning System (GPS)  sekalipun, ternyata di lapangan tidak selalu akurat. 

Ada pula sejumlah desa yang batal dikunjungi atas saran anggota TNI AD yang mengawal karena dianggap sangat rawan dari sisi keamanan. “Jadi memang tantangan terberatnya, rute, yang kemudian berdampak pada bahan makanan yang kita bawa. Awalnya bekal makanan disiapkan untuk 5 hari, ternyata jadi 7 hari. Jadi ya dicukup-cukupkan saja,” urai Simson. 

Adapun berdasarkan hasil survey yang dilakukan, tercatat kelima desa yang dikunjungi lebih cocok dipasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). “Alasannya mereka berada di dataran tinggi terbuka. Curah hujan normal. Memang ada desa yang memiliki sumber sungai yang baik. Tapi jarak sungai ke desa sejauh 2 kilometer. Jadi sangat jauh tidak layak dipasang pembangkit tenaga air,” jelas Simson. 

Berkat perjuangan tim EPT seperti Simson kini terkumpul data akurat metode yang dianggap tepat untuk melistriki ratusan desa di Papua dan Papua Barat. Rincian jumlahnya, 39 desa direncanakan menggunakan teknologi tabung listrik (Talis), 41 desa menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) dan Piko Hidro (PLTPH),179 desa rencananya akan disambungkan ke system jaringan listrik (grid) PLN yang telah ada.

Baca Juga: Bos Medco Arifin Panigoro bicara soal pelepasan aset Ophir Energy paska akuisisi

Sebanyak 286 desa akan menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) dan Biomassa (PLTBm), serta selebihnya 297 desa akan diterangi dengan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Biomassa (PLTBm). 

Piko Hidro di Kwaedamban
Data tersebut pun telah ditindaklanjuti dengan pemancangan program “1000 Renewable Energy for Papua.”  Program inilah yang mengeksekusi hasil survei EPT. Desa pertama yang dilistriki adalah Kampung Kwaedamban, Distrik Bormeo, Pegunungan Bintang pada pertengahan Oktober 2018. 

Meski berlokasi di pedalaman Pegunungan Bintang, namun kampung ini memiliki prasyarat yang tepat untuk dialiri listrik dengan pembangkit Piko Hidro. Di antaranya, potensi aliran air bagus, kondisi keamanan kondusif, dan seluruh masyarakat mendukung serta membantu program pembangunannya. 

Piko Hidro sendiri merupakan pembangkit listrik tenaga air berkapasitas sangat kecil, yakni 1-100 KWH. Jauh di bawah cara kerjanya, air yang telah dibendung dialirkan ke dalam bak penampung yang berisi turbin sehingga aliran air akan memutar turbin tersebut. Selanjutnya turbin akan memutar generator yang pada akhirnya menghasilkan listrik. 

Kepala Divisi Konstruksi Regional Maluku dan Papua PT PLN (Persero) Robert Aprianto Purba menjelaskan, keunggulan teknologi PLTPH adalah cocok digunakan di daerah terpencil. “ Piko Hidro hanya butuh ketinggian air 1-3 meter dan debit 30 liter per detik. Jadi cocok digunakan di daerah terpencil,” jelas Robert. 

Baca Juga: PLN fokus listriki 78.000 rumah di Papua pada tahun 2020

Selain itu biaya investasinya pun tergolong murah sekitar Rp 30 juta per unit dengan biaya pemeliharaan yang minimum dan tidak memerlukan biaya bahan bakar. “Piko Hidro ini pun mudah dirakit dan dioperasikan serta bisa beroperasi selama 24 jam sesuai dengan debit air. Teknologi ini membuatnya cocok untuk diterapkan di daerah terpencil yang memiliki debit air yang sesuai,” urai Robert. 

Berkat PLTPH berdaya 1 KWH yang memanfaatkan aliran air sungai Wapra itu, maka 37 rumah di Kwaedamban kini bisa menikmati terang di waktu malam. “Itulah manfaat dari survei Ekspedisi Papua Terang, memetakan sumber pembangkit yang cocok untuk setiap desa di Papua. Dengan demikian pembangkit yang kami bangun bisa sesuai dengan karakteristik alam setempat sehingga diharapkan dapat bertahan dalam jangka panjang,” pungkas Robert. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×