Reporter: Muhammad Julian | Editor: Yudho Winarto
Tapi, menurut Direktur Energy Shift institute, Putra Adhiguna, penggunaan amonia pada PLTU masih jauh dari pembuktian komersil di dunia.
“Harga listrik yg dihasilkan bisa berkali lipat, yang setara dengan pajak karbon US$ 150-300 per ton CO2, bahkan hanya untuk mencampurkan 20% amonia,” kata Putra saat dihubungi Kontan.co.id (18/1/2024).
Baca Juga: Proyek Amonia Biru ESSA Industries (ESSA) Capai US$ 150 Juta, Ini Sumber Pendanaannya
Lebih lanjut, Putra juga mengingatkan bahwa pasokan amonia biru maupun hijau harus benar dipastikan bersih. Sebab, proses produksi amonia dan hidrogen saat ini berasal dari gas maupun batubara yang notabenenya bisa memiliki emisi yang sangat tinggi.
“Rencana tersebut (cofiring PLTU dengan amonia hijau atau biru) baik saja untuk dieksplorasi tapi baiknya tidak perlu terlalu menjadi angan-angan mengingat harga listrik kita yang bahkan masih jauh dari taraf keekonomian bagi PLN,” tutur Putra.
Senada, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa co firing PLTU menggunakan amonia tidaklah murah.
“Kalau dari beberapa kajian menunjukan co-firing ammonia 20% di PLTU lebih mahal 4x lipat daripada mengganti PLTU dengan PLTS & battery. Ada study BloombergNEF (BNEF) yang menyatakan pengadaan amonia di 2030 akan 7-9 kali lebih mahal dari batubara,” kata Fabby saat dihubungi Kontanco.id (18/1/2024).
Lebih lanjut, Fabby juga menambahkan bahwa amonia jenis tertentu, yakni amonia abu-abu alias grey ammonia, menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) lebih besar, yakni 149,5 gr CO2 per MJ (megajoule of energy produced).
“(Sementara itu) Blue ammonia yang diproduksi dan emisinya pakai CCS (carbon capture storage), konon lebih rendah, secara teori, tergantung pada efektivitas CCS-nya. (Tapi) Ada problem dengan transport. Ada kajian akademik dari Stanford University yang menunjukan blue ammonia emisinya juga tinggi,” tandas Fabby.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News