Reporter: Muhammad Julian | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pengembangan amonia hijau dan biru perlahan mulai diminati di Indonesia. PT ESSA Industries Indonesia Tbk menjadi salah satu perusahaan yang cukup serius menjajaki potensi pengembangan amonia biru.
Saat ini, emiten berkode saham “ESSA” tersebut tengah mengawal studi kelayakan fase kedua atas proyek amonia biru yang direncanakan rampung kuartal IV 2024 mendatang. Kalau tidak ada aral melintang, proyek amonia biru ESSA dijadwalkan memasuki tahapan produksi komersial pada paruh pertama 2027 mendatang.
Menurut Presiden Direktur Essa Industries Indonesia Kanishk Laroya, penjadwalan tersebut sudah sejalan dengan rencana Jepang, negara yang dilirik sebagai target pasar dalam proyek amonia biru ESSA, untuk menggunakan amonia jenis ini.
Seperti diketahui, sebagaimana diberitakan oleh Reuters (21/4/2023), publikasi The Ammonia Energy Association (AEA) (25/2/2021). dan sejumlah sumber sekunder lainnya, Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang berencana menggenjot penggunaan amonia bersih hingga 3 juta ton pada 2030 mendatang.
Baca Juga: Essa Industries (ESSA) Masih Fokus pada Proyek Amonia Biru pada 2024
Penggunaannya untuk berbagai kebutuhan, termasuk di antaranya untuk co-firing pembangkit. Langkah ini paralel dengan komitmen net zero emission yang dikejar Negeri Sakura.
“Sementara Jepang mempelopori komitmen ini, ada harapan bahwa negara lainnya akan menempuh jejak yang sama, dengan peluang penggunaan yang juga meluas hingga ke pasar domestik,” kata Laroya kepada Kontan.co.id, Kamis (18/1).
Laroya menegaskan, pihaknya tidak membatasi target pada pasar Jepang semata. ESSA, kata Laroya, juga membuka peluang untuk menjalin kerja sama dengan pasar lainnya, termasuk pasar domestik Indonesia.
“Per saat ini, kami belum menjalin hubungan kemitraan dengan calon pembeli domestik potensial di Indonesia. (Tapi) kami tetap terbuka untuk menjajaki peluang-peluang baru, baik di Indonesia maupun di pasar ekspor,” terang Laroya.
Selain ESSA, PT Pupuk Indonesia (Persero) bersama PT PLN (Persero) dan ACWA Power juga tidak ketinggalan melirik potensi pengembangan ‘amonia bersih’.
Baca Juga: Boy Thohir Borong 98,75 Juta Saham ESSA Industries (ESSA)
Ketiganya telah Joint Development Agreement (JDA) untuk pengembangan ekosistem green hydrogen dan green ammonia di kawasan industri Petrokimia Gresik dalam perhelatan COP28 atau konferensi tingkat tinggi PBB terkait perubahan iklim dunia di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), Minggu (3/12/2023).
Dalam kerjasama ini, Pupuk Indonesia bersama PLN dan ACWA Power akan membentuk sebuah perusahaan joint-venture (JV) dengan ACWA Power sebagai koordinator.
Perusahaan patungan ini akan menjalankan proyek, termasuk pemilihan kontraktor EPC (Engineering, Procurement, & Construction) hingga penjualan green ammonia untuk pasar domestik maupun mancanegara.
Saat ini, rencana kerja sama ini sedang dalam proses studi kelayakan.
“Kami masih dalam tahap pembuatan feasibility study,” SVP Sekretaris Perusahaan Pupuk Indonesia, Wijaya Laksana kepada Kontan.co.id (12/1/2024).
Di Indonesia sendiri, potensi penggunaan ‘amonia bersih’ sudah mulai dijajaki pada sektor kelistrikan.
Baca Juga: Harga Amonia Membaik, ESSA Industries (ESSA) Berharap Kinerja Membaik di Tahun 2024
Perusahaan pengelola PLTU Jawa 9 & 10, PT Indo Raya Tenaga (IRT) menggandeng Doosan Enerbility untuk mengembangkan PLTU Jawa 9 & 10 menjadi pembangkit hybrid pertama yang menggunakan amonia hijau dan hidrogen hijau dalam proses produksinya.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Arthur Simatupang, mengatakan bahwa penggunaan amonia biru dan hijau sebagai bahan campuran atawa co-firing pada pembangkit bisa menjadi opsi alternatif.
Namun, minat independent power producer (IPP) untuk menggunakan amonia hijau dan biru bergantung pada hasil studi kelayakan alias feasibility study (FS) baik secara teknis dan komersial.
“Tentunya faktor komersial penting setelah terbukti secara teknis feasible dilakukan,” kata Arthur saat dihubungi kontan.co.id, Kamis (18/1/2024).
Tapi, menurut Direktur Energy Shift institute, Putra Adhiguna, penggunaan amonia pada PLTU masih jauh dari pembuktian komersil di dunia.
“Harga listrik yg dihasilkan bisa berkali lipat, yang setara dengan pajak karbon US$ 150-300 per ton CO2, bahkan hanya untuk mencampurkan 20% amonia,” kata Putra saat dihubungi Kontan.co.id (18/1/2024).
Baca Juga: Proyek Amonia Biru ESSA Industries (ESSA) Capai US$ 150 Juta, Ini Sumber Pendanaannya
Lebih lanjut, Putra juga mengingatkan bahwa pasokan amonia biru maupun hijau harus benar dipastikan bersih. Sebab, proses produksi amonia dan hidrogen saat ini berasal dari gas maupun batubara yang notabenenya bisa memiliki emisi yang sangat tinggi.
“Rencana tersebut (cofiring PLTU dengan amonia hijau atau biru) baik saja untuk dieksplorasi tapi baiknya tidak perlu terlalu menjadi angan-angan mengingat harga listrik kita yang bahkan masih jauh dari taraf keekonomian bagi PLN,” tutur Putra.
Senada, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa co firing PLTU menggunakan amonia tidaklah murah.
“Kalau dari beberapa kajian menunjukan co-firing ammonia 20% di PLTU lebih mahal 4x lipat daripada mengganti PLTU dengan PLTS & battery. Ada study BloombergNEF (BNEF) yang menyatakan pengadaan amonia di 2030 akan 7-9 kali lebih mahal dari batubara,” kata Fabby saat dihubungi Kontanco.id (18/1/2024).
Lebih lanjut, Fabby juga menambahkan bahwa amonia jenis tertentu, yakni amonia abu-abu alias grey ammonia, menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) lebih besar, yakni 149,5 gr CO2 per MJ (megajoule of energy produced).
“(Sementara itu) Blue ammonia yang diproduksi dan emisinya pakai CCS (carbon capture storage), konon lebih rendah, secara teori, tergantung pada efektivitas CCS-nya. (Tapi) Ada problem dengan transport. Ada kajian akademik dari Stanford University yang menunjukan blue ammonia emisinya juga tinggi,” tandas Fabby.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News