Reporter: Muhammad Julian | Editor: Handoyo .
Selain harga, Ahmad juga menyoroti aspek ketersediaan infrastruktur penyaluran gas. “Di luar Jamali (Jawa Madura Bali)i, di Indonesia Timur, isu yang sangat serius pada saat ini adalah ketersediaan infrastruktur gas,” tutur Ahmad.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno mengatakan, penitikberatan pemanfaatan gas di dalam negeri merupakan hal yang baik lantaran bisa menjembatani transisi RI menuju energi bersih, terlebih, RI memiliki cadangan gas yang sangat besar.
Meski begitu, Eddy memberi catatan bahwa kontrak-kontrak dengan pembeli di luar negeri juga perlu diperhatikan untuk menghindari pemutusan kontrak sebelum masa kontrak berakhir. Selain itu, Eddy juga menilai bahwa sosialisasi penggunaan gas, terutama di segmen rumah tangga perlu ditingkatkan.
“Kemudian juga (perlu dipikirkan) bagaimana agar itu (gas) menjadi sumber energi yang kompetitif, kalau bisa sama dengan batubara harga pembelian energi gasnya, terus kemudian juga bagaimana distribusi jaringan infrastruktur dan distribusi jaringan gas itu bisa ditingkatkan, sehingga cakupan untuk penjualan gas itu bisa dilaksanakan di daerah-daerah yang sangat membutuhkan gas,” imbuh Eddy saat dihubungi Kontan.co.id pada Rabu (25/8).
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menilai, pengalihan alokasi pemanfaatan gas untuk domestik secara konsep akan memberikan nilai tambah ekonomi yang lebih besar, sebab industri dan sektor kelistrikan akan mendapat manfaat dari hal tersebut.
Perkara harga, Komaidi menilai bahwa gas bisa menjadi sumber energi yang lebih murah dibanding batubara apabila pajak karbon diterapkan pada sumber energi fosil. “Pajak karbon akan dikenakan pada emisi yang dihasilkan, sementara emisi batubara paling besar, sehingga potensi tambahan biaya atas beban pajaknya berpotensi paling besar,” terang Komaidi kepada Kontan.co.id, Rabu (25/8).
Meski begitu, pemanfaatan gas di dalam negeri bukannya tanpa tantangan. Komaidi bilang, saat ini porsi penerimaan gas (pajak dan PNBP) dalam APBN cukup besar, begitu pula dengan perolehan devisa dari ekspor gas. Dengan demikian, Komaidi menilai bahwa kemampuan fiskal dan neraca dagang RI perlu dipersiapkan agar kuat ketika ekspor gas dihentikan nanti.
Sementara itu, Komaidi tidak melihat adanya tantangan dari segi permintaan untuk pemanfaatan gas di domestik. “Kalau demand data yang ada menunjukkan bahwa konsumsi gas domestik naik terus untuk tiap tahunnya. Jika infrastrukturnya siap saya kira hampir sebagian gas bisa diserap oleh domestik,” kata Komaidi.
Division Head Corporate Planning PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN), Lely Malini mengatakan, PGN mempunyai beberapa program untuk meningkatkan penyerapan energi gas di dalam negeri, salah satu di antaranya ialah program gasifikasi kilang. Pada program tersebut, PGN mebangun akses gas alam cair atawa liquid natural gas (LNG) ke pusat market.
Selain itu, PGN juga memiliki program gasifikasi untuk penyediaan tenaga listrik. Hal ini dilakukan dengan melaksanakan penyediaan pasokan dan pembangunan infrastruktur LNG untuk memenuhi kebutuhan pembangkit-pembangkit PLN.
Berikutnya, PGN juga mengawali program jaringan gas (jargas) rumah tangga. Dalam peta jalan yang ada, telah direncanakan adanya pembangunan sekitar 245.000 sambungan rumah tangga (SR) di tahun 2021. Target tersebut bakal dicapai baik melalui APBN maupun dengan pendanaan dari PGN.
Selanjutnya, target penambahan SR pada kurun waktu 2022-2026 dicanangkan sekitar 1 juta SR pada setiap tahunnya. “Untuk menjalankan (target) 1 juta ini kami juga skemanya tidak hanya dibangun oleh PGN sendiri, kami juga membuka skema untuk kerja sama baik dengan developer maupun BUMD, dan kami sedang menjajaki skema melalui KAI di mana akan dibawa gasnya melalui gerbong kereta api,” terang Lely (24/8).
Selanjutnya: PLN produksi oksigen 2 ton per hari dari gas yang tak termanfaatkan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News