kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.606.000   15.000   0,94%
  • USD/IDR 16.324   16,00   0,10%
  • IDX 7.237   55,25   0,77%
  • KOMPAS100 1.067   8,94   0,84%
  • LQ45 843   8,16   0,98%
  • ISSI 215   1,70   0,80%
  • IDX30 434   3,72   0,87%
  • IDXHIDIV20 518   5,06   0,99%
  • IDX80 122   0,98   0,81%
  • IDXV30 124   0,55   0,45%
  • IDXQ30 142   1,33   0,94%

Menilik Potensi Teknologi CCS Selamatkan PLTU dari Target Pensiun Dini


Rabu, 22 Januari 2025 / 00:13 WIB
Menilik Potensi Teknologi CCS Selamatkan PLTU dari Target Pensiun Dini
ILUSTRASI. Salah satu alasan PLTU mau dipensiunkan dini adalah karena masih menggunakan energi fosil yang menghasilkan emisi karbon dioksida.


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon atau Carbon Capture and Storage (CCS) memiliki potensi untuk menyelamatkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dari pensiun dini atau early retirement.

Direktur Utama PT PLN Enjiniring (PLNE) Chairani Rachmatullah mengungkap bahwa salah satu alasan PLTU mau dipensiunkan dini adalah karena masih menggunakan energi fosil yang menghasilkan emisi karbon dioksida atau CO2.

"Argumennya hari ini adalah mayoritas pembangkit fosil atau PLTU. Tapi apa yang harus dimatikan semua? Sekarang, pembangkit Indonesia itu, dari total 80 GW sekitar 60 GW itu adalah dari PLTU," ungkap Chairani dalam agenda Understanding Carbon Capture and Storage (CCS), Sabtu, (18/01).

Untuk menekan karbon atau emisi yang dihasilkan dari PLTU, Chairani bilang saat ini pihaknya tengah melakukan studi lebih lanjut untuk menggunakan teknologi CCS.

Baca Juga: PLN Bakal Pasang Tekonologi Tangkap Karbon di 4 PLTU-PLTGU Tahun 2040

Sebagai gambaran cara kerja, CCS adalah teknologi yang dapat diterapkan untuk mengurangi emisi CO2 dari berbagai sumber, salah satunya PLTU. CO2 yang dipisahkan kemudian dapat ditransportasikan menggunakan pipa atau kapal. Atau diinjeksikan pada sumur yang  memiliki karakteristik yang baik dan aman.

Dalam industri minyak gas (migas), CO2 ini dapat dimanfaatkan untuk utilization misalnya untuk enhanced oil recovery (EOR) atau pengurasan minyak tahap lanjut. Penggunaan kembali ini membuat kerja agak berbeda, yaitu disebut Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS), artinya ada karbon yang digunakan kembali setelah ditangkap (capture). 

"Jadi kalau hari ini ditanya, 'Bu, sudah sampai mana (tahap) CCS-CCUS di PLN?' Kita sudah di tahap studi, karena tadi biayanya, masih US$ 40 per ton," jawab Chairani.

Dalam perhitungan PLN, biaya untuk menggunakan teknologi CCS masih berada di angka US$ 40 per ton CO2. Jika menerapkan teknologi CCS sekarang, cost produksi listrik menurutnya akan ikut terbebani.

"Gambarannya seperti ini, kalau kita pakai (biaya) US$ 40 (per ton CO2) teknologi saat ini, maka (cost) kita masih mencapai di 12 sen per kwh. Padahal PLN itu didorong pemerintah dengan tarif yang sekarang dengan biaya produksi rata-rata paling tinggi 8 sen per kwh," kata dia.

Baca Juga: Menilik Prospek dan Tantangan Industri Migas pada 2025

Chairani juga menjelaskan, akan ada kelebihan biaya sebesar 4 sen. Kelebihan ini nantinya harus ditanggung oleh pemerintah melalui skema subsidi.

"Kenapa negara harus mensubsidi PLN? Sementara uang itu kita butuhkan untuk membangun sekolah, jembatan, rumah sakit. Jangan lari ke subsidi listrik, karena itu listrik harus kita bangun dengan biaya yang semurah-murahnya," jelas dia.

Selain pertimbangan biaya, perempuan yang akrab disapa Ani ini mengatakan bahwa penerapan teknologi pada PLTU atau PLTGU juga akan menimbulkan energi pinalti atau penyerapan energi dari pembangkit untuk kemudian disalurkan pada CCS.

"Kalau di migas mungkin tidak ada, tapi kalau di kami (PLN) ada, namanya energi penalti. Kalau kita pasang CCS, tetap membutuhkan listrik, tetap butuh panas. Justru listriknya diambil, sehingga pembangkit yang tadinya let says 100 MW (daya) bisa dikirim ke masyarakat akan berkurang, karena dipakai oleh CCS," jelas dia.

Baca Juga: PLTU Masih Boleh Beroperasi di Tahun 2060

Meski begitu, Chairani menegaskan PLN tetap memiliki target untuk menggunakan CCS di masa depan. Tetapi PLN tetap mempertimbangkan biaya proporsional yang dapat dikeluarkan.

"Masih ada peluang kita pakai CCS ini, tapi kita jaga harganya supaya enggak terlalu tinggi. Supaya secara rata-rata masih di angka sesuai tarif. Sekarang saja (tarif) PLN itu Rp1.467 per kwh. Artinya memang kalau bisa, biaya produksi kita di sekitar 8 sen (dollar) per kwh, ini supaya PLN juga punya margin sedikit untuk investasi," tambah dia.

PLN menargetkan tiga Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan satu Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) pada tahun 2040 akan dipasang CCS.

Keempatnya adalah PLTU dan PLTGU backbone yang berasa di pulau Jawa, yaitu PLTU Suralaya unit 1-7, kemudian PLTU Indramayu unit 1-3, PLTU Tanjung Jati B, serta PLTGU Tambak Lorok blok 1-2.

"Untuk 4 pembangkit di Jawa tadi rekomendasinya adalah CCS jadi bukan CCUS. Kalau di PLN, ini adalah teknologi untuk memperpanjang umur pembangkit termal, kalau pembangkit termal ini harus ada," katanya.

Ia juga menyebut, di tahun 2040 pihaknya berharap sudah ada 2 GW pembangkit-pembangkit termal PLN yang sudah dipasang teknologi CCS ini.

Baca Juga: Banyak Jalan Menurunkan Emisi Karbon Semen

Penerapan CCS di Dalam Negeri Memerlukan Waktu

Secara umum, penerapan CCS di Indonesia menurut Manager Pusat Pemanfaatan Karbon Dioksida dan Gas Suar Institut Teknologi Bandung (ITB) Mohammad Rachmat Sule memang memerlukan waktu.

Dia juga menyebut bahwa langkah yang dilakukan oleh PLN sudah dalam jalur yang tepat. Terutama sebelum memulai menggunakan teknologi CCS adalah dengan melakukan studi mendalam.

"Jadi buat PLN sudah benar, dia melakukan suatu studi dan kajian supaya dia tahu bahwa kalau suatu saat nanti capture teknologi ini sudah murah, maka dia akan menjalankan seperti apa," kata Sule dalam kesempatan sama, Minggu (19/01).

Sule menambahkan, dalam waktu dekat Indonesia bisa memaksimalkan penggunaan teknologi CCS pada industri migas, terutama untuk meningkatkan lifting migas.

"Yang sekarang bisa kita lakukan di Indonesia itu adalah melakukan CCS dari beberapa oil and gas company dan melakukan CCS dari ammonia," tambahnya.

Baca Juga: PLN Siapkan Carbon Capture & Storage, Tekan Emisi Pembangkitan hingga 19 GW

Sedangkan, jika berkaca pada kasus yang sama dengan PLN, yaitu penggunaan CCS untuk menangkap karbon dari PLTU dibilang masih sedikit. Sule menyebut, di dunia saat ini baru ada dua proyek yang berjalan.

"Yang pertama, Saskatchewan di Kanada, namanya Boundary Dam Project, mereka punya 8 unit yang terkoneksi dengan CCS cuma satu dan cost-nya besar sekali," kata dia.

Yang kedua adalah proyek The Petra Nova, yang terletak di Thompsons, Texas. Kedua proyek ini kata dia bisa berjalan menurutnya karena adanya dukungan dari federal goverment.

Dalam penerapan CCS, Sule juga menyinggung mengenai cadangan batu bara Indonesia yang saat ini menjadi penggerak utama dari PLTU. Menurutnya, sebagai negara yang memiliki cadangan batu bara terbanyak ke lima dunia, Indonesia harus punya cara menggunakannya tanpa menambah emisi. 

"Indonesia juga adalah negara yang kaya akan coal, sebagai sumber energi. Kalau kita tidak memanfaatkannya, ya mubazir namanya. Tapi ketika kita menggunakannya harus bijaksana," ungkapnya.

Baca Juga: Begini Rincian Skema Pensiun Dini PLTU Cirebon 1 dan Persiapan Pemerintah

Perusahaan seperti PLN, kata Sule termasuk dalam perusahaan yang hard to abate atau perusahaan yang bergerak di sektor yang sulit untuk mengurangi jejak karbonnya.

"Jadi harus udah mulai skenario dekarbonisasi dengan CCS. Mereka (PLN) akan bergerak ketika harga capture (karbon)-nya murah," katanya.

Perkembangan penggunaan teknologi CCS dan CCUS di dalam negeri juga tidak bisa lepas dari dorongan dan dukungan pemerintah, khususnya dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

"Indonesia itu memang perlu di-support CCS ini. Bukan diharuskan, tapi setiap company yang mau dan diwajibkan mengurangi emisi, kita harus support," katanya.

Adapun dari sisi regulasi, tercatat telah dimunculkan beberapa peraturan untuk mendukung penerapan CCS dan CCUS di dalam negeri.

Baca Juga: Menteri ESDM Sepakati Kerja Sama Sektor ESDM dengan Persatuan UEA

Seperti munculnya Peraturan Presiden (Perpres) No. 14/2024 Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon.

Perpres ini mengatur dua jenis pengusahaan CCS, yang pertama adalah di dalam wilayah kerja Migas (Kontrak Kerja Sama) yang menggunakan peraturan turunan yaitu Permen ESDM No. 2/2023 Penyelenggaraan CCS/CCUS pada Kegiatan Usaha Migas serta PTK SKK Migas No. 70/2024 Penyelenggaraan CCS/CCUS pada Wilayah Kerja Kontraktor Kontrak Kerja Sama (WK KKKS).

Lalu jika pengusahaan CCS ada diluar WK Migas, diatur melalui skema Wilayah Izin Penyimpanan Karbon (WIPK) dengan kegiatan Zona Target Injeksi (ZTI) atau Operasi penyimpanan karbon.

Yang menggunakan peraturan dari Permen ESDM No. 16/2024 Penyelenggaraan Kegiatan Penyimpanan Karbon pada WIPK dalam rangka CCS.

Sebagai tambahan, hingga saat ini terdapat 15 proyek dan studi CCS/CCUS di Indonesia, sebagian besar ditargetkan beroperasi mulai tahun 2030 atau setelahnya.

Selanjutnya: Dolar AS Menguat Saat Trump Mengusulkan Tarif Untuk Kanada dan Meksiko

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Bond Voyage Mastering Strategic Management for Business Development

[X]
×