Reporter: Ewo Raswa |
JAKARTA. Cadangan ikan tuna kita makin menipis. Salah satu indikasi berkurangnya ketersediaan tuna adalah nelayan kini harus mengambil tuna jauh ke laut sehingga waktu yang mereka butuhkan untuk menjaring ikan menjadi lebih lama. Dan pihak yang paling menderita adalah nelayan kecil yang mengoperasikan kapal berbobot antara 6-15 gross ton (GT).
Meski sebetulnya cadangan tuna di luat semakin tipis, toh armada kapal yang dioperasikan anggota Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) di Bali terus bertambah. "Jumlah kapal mereka naik dari 992 bulan lalu menjadi 1.002 pada bulan ini," kata Soehartojo, Kepala Operasional PT Perintis Jaya Internasional.
Penambahan ini terjadi lantaran nelayan kecil yang tadinya beroperasi sendiri bergabung dengan pengusaha besar. Apalagi, kebanyakan pengusaha besar mengekspor langsung tunanya dengan harga lumayan tinggi.
Saat ini, harga ekspor tuna ke Jepang mencapai US$ 6,1 per kilogram (kg). Harga ini jauh lebih tinggi dibandingkan jika tuna itu dijual di dalam negeri yang hanya US$ 3,2 per kg. Jepang adalah negara tujuan ekspor tuna asal Indonesia yang terbesar.
Asal tahu saja, Indeks Laju Pancing (hook rate) yang dari tahun ke tahun kian menciut. Indeks Laju Pancing adalah indeks yang menunjukkan hasil tangkapan tuna per seratus mata pancing. Indeks ini menunjukkan besar kecilnya jumlah ikan tuna di laut. Semakin besar angkanya, semakin tinggi pula tingkat cadangan tuna di laut.
Saat ini, hook rate tuna kita rata-rata di level 0,6. Artinya dari 100 pancing yang dipasang dalam kapal, hanya mampu menangkap kurang dari seekor tuna per setting. Padahal, beberapa tahun silam, indeks ini masih berada di level 3,3.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News