Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang IUPTL untuk Kepentingan Umum dikhawatirkan akan membuat pasar domestik stagnan.
Melihat kondisi ini sejumlah produsen panel surya akan lebih fokus membidik pasar ekspor yang lebih menjanjikan.
Direktur Utama PT Sky Energy Tbk (JSKY), Jung Fan menyatakan salah satu poin yang akan tertuang dalam Revisi Permen ESDM PLTS Atap ialah peniadaan ekspor impor listrik. Hal ini akan membuat minat pemasangan PLTS menurun.
"Konsumen PLTS tidak lagi dimungkinkan untuk mengekspor kelebihan daya mereka ke PLN, dengan demikian minat konsumen di sektor residensial kemungkinan akan menurun," jelasnya kepada Kontan.co.id belum lama ini.
Baca Juga: Tarif Listrik PLTP dalam Perpres 112/2022 Belum Cukup Menunjang Keekonomian Proyek
JSKY melihat market domestik di tahun ini belum akan berubah signifikan dibandingkan tahun lalu. Pasalnya, kebijakan PLTS Atap belum mampu mendorong minat konsumen menggunakan pembangkit matahari ini.
Untung saja di tengah pasar dalam negeri yang kurang prospektif, permintaan panel surya dari Amerika dan Jepang sedang naik-naiknya. Maka itu Sky Energy akan melanjutkan agenda bisnis tahun lalu yakni menggali ceruk bisnis di pasar ekspor.
Jung Fan menyatakan, ada kenaikan permintaan di pasar luar negeri karena saat ini sedang tren penggunaan panel surya untuk karavan.
"Perusahaan kami memproduksi panel surya custom yang memang untuk sementara ini didominasi oleh pelanggan Kanada dan Jepang," ungkapnya.
Di sepanjang 2024, JSKY menargetkan produksi panel surya kurang lebih 15,6 Mega Watt (MW) per tahun setara Rp 130 miliar per tahun.
"Target tahun ini ada kenaikan berkisar 20% dibandingkan tahun lalu dan dominan untuk pasar luar negeri," tandasnya.
Agenda bisnis yang sama juga dilakukan PT Solar Karya Indonesia. CEO Solar Karya Indonesia Christopher Liawan mengatakan, prospek pasar PLTS di luar negeri juga tidak kalah menarik dibanding dalam negeri.
Christopher mengungkapkan di 2023, Solar Karya Indonesia mencetak penjualan Rp 44 miliar di mana mayoritas produksinya dijual ke Amerika Serikat.
Baca Juga: Ini Alasan Revisi Permen ESDM PLTS Atap Perlu Dikaji Lagi Setelah 2025
“Di tahun ini kami yakin penjualan bisa naik hingga 120% YoY menjadi Rp 100 miliar,” ujarnya kemarin (11/2).
Tumbuhnya penjualan ke luar negeri tersebut didukung fasilitas Kebebasan Ekspor Terhadap Impor (KITE) dari bea cukai Bandung.
"Solar Karya Indonesia mendapat pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Bea Masuk, sehingga harga jual solar panel ke pasaran ekspor lebih kompetitif di pasar global," ujarnya.
Revisi Aturan PLTS Atap yang Menghambat
Sebelumnya, Ketua Umum Perkumpulan Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA), Yohanes Sumaryo menyatakan salah satu daya tarik dalam memasang PLTS atap adalah ketentuan net metering. Namun pemerintah mewacanakan untuk menghapus ketentuan net metering ini pada revisi Permen ESDM 26/2021 tersebut.
“Net metering itu bentuk insentif pemerintah agar masyarakat umum tertarik memasang PLTS atap yang harganya relatif masih mahal dibanding biaya langganan listrik PLN," jelasnya beberapa waktu lalu.
Dengan net metering koefisien perbandingan ekspor-impor menjadi 1:1 maka tingkat pengembalian modal atau payback period pemasangan PLTS atap bisa berkisar antara 4-5 tahun.
Lebih lanjut Yohanes menjelaskan ketidakberadaan net metering akan menyulitkan calon pelanggan untuk memasang PLTS atap.
Dengan revisi Permen ESDM No. 26/2021 di mana ekspor tidak diberlakukan, maka orang yang mau memasang PLTS atap terpaksa harus membeli baterai penyimpan energi yang cukup mahal dan membuat tingkat pengembalian modal lebih lama, menjadi 9-10 tahun.
"Ini menyebabkan banyak orang yang mengurungkan niatnya memasang PLTS atap,” ungkapnya
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa menyatakan, Permen ESDM ini sejatinya tidak terlalu ideal untuk memacu instalasi PLTS Atap di Indonesia. Menurutnya banyak peraturan yang cukup menghambat sejumlah sektor menginstalasi pembangkit surya ini.
Misalnya saja, perubahan aturan mengenai peniadaan ekspor kelebihan listrik hingga adanya sistem kuota mengikuti pengembangan PLTS Atap dikhawatirkan dapat menurunkan minat sektor residensial hingga industri.
Baca Juga: PLN Indonesia Power Genjot Implementasi Cofiring demi Kerek Target Bauran EBT
“Saya berharap di 2026, ada evaluasi dan revisi atas Permen ini agar lebih progresif mendukung PLTS Atap di Indonesia,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (7/2).
Perihal urgensi evaluasi Permen ini selepas 2025 karena beleid ini sejatinya untuk mendukung pencapaian Program Strategis Nasional (PSN) 3,6 GW PLTS Atap di 2025 dan mencapai 23% bauran energi baru terbarukan (EBT) di 2025.
“Jadi kalau target tersebut tidak tercapai, perlu dievaluasi efektivitas Permen ini,” jelasnya.
Melihat perkembangan saat ini di mana pengembangan PLTS Atap masih lambat dan bauran EBT baru tercapai 13,1% di 2023, AESI menilai cukup sulit mengejar target 2025.
Meski begitu, Fabby melihat masih ada harapan di sisa waktu dua tahun ini. Dia menegaskan jangan sampai hasil revisi Permen ESDM PLTS Atap menjadi penghalang konsumen listrik memasang pembangkit dengan adanya sistem kuota dan perubahan lainnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News