Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Nilai tukar rupiah bergerak melemah menjelang akhir bulan September 2025. Kurs acuan Jisdor Bank Indonesia menunjukkan posisi rupiah yang tengah bertengger di Rp 16.775 per dolar Amerika Serikat (AS) pada akhir pekan lalu, Jumat (26/9/2025).
Posisi rupiah saat ini menggambarkan pelemahan 1,89% dibandingkan awal September, yang masih berada di Rp 16.463 per dolar AS. Adapun, rupiah membuka tahun ini pada posisi Rp 16.236 per dolar AS pada 2 Januari 2025. Dus, jika dibandingkan awal tahun 2025, rupiah telah melemah sebanyak 3,32%.
Situasi ini membawa dampak bervariasi bagi sejumlah sektor usaha, yang mencakup industri minyak dan gas (migas) maupun industri pengolahan non-migas alias sektor manufaktur. Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal mengungkapkan kondisi saat ini belum membawa dampak yang signifikan bagi industri migas.
Pelaku industri masih mencermati akan sejauh mana rentang pergerakan kurs rupiah, respons pasar, serta situasi global. "Kami masih membaca situasi. Sejauh ini belum melihat dampak yang signifikan. Kalau sudah mencapai lebih dari Rp 17.000 atau Rp 17.500 (per dolar AS), itu mulai mengkhawatirkan," ungkap Rizal saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (28/9/2025).
Baca Juga: Rupiah Melemah, Dunia Usaha Menanti Langkah Serius Pemerintah
Rizal menegaskan, pelemahan kurs rupiah punya dua sisi bagi industri migas nasional. Bagi perusahaan yang berorientasi ekspor, situasi ini cenderung menguntungkan. Hanya saja, Rizal membeberkan lebih dari 90% produksi minyak nasional diolah ke kilang dalam negeri atau ditujukan ke pasar domestik.
Dengan kebutuhan yang jauh lebih tinggi dibandingkan kemampuan produksi, maka Indonesia pun masih mengimpor minyak. Sedangkan 60% produksi gas digunakan di dalam negeri. Artinya, porsi ekspor cukup besar, meski tidak mendominasi.
Pada saat yang sama, pelaku industri migas dihadapkan pada kenaikan biaya jika rupiah terus melemah. Sebab, proses produksi masih membutuhkan bahan penunjang dan teknologi dengan porsi impor yang cukup besar.
"(Jika rupiah terus melemah) biaya-biaya di dalam negeri bisa meningkat, misalnya untuk pengadaan bahan kimia dan teknologi yang masih impor. Ini dikhawatirkan akan meningkatkan biaya produksi, sehingga margin akan semakin kecil," terang Rizal.
Industri manufaktur berbasis ekspor memiliki catatan tersendiri. Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengungkapkan ada dampak positif dan negatif dari pelemahan kurs rupiah.
Sobur memberikan gambaran, bagi eksportir, kurs rupiah saat ini menunjukkan adanya kenaikan penerimaan sekitar 3,32% dibandingkan posisi kurs pada awal tahun 2025. Dengan asumsi harga tidak berubah, maka situasi ini membantu cashflow dan daya saing harga terhadap kompetitor regional.
Baca Juga: Pemerintah Guyur Rp 200 Triliun, Ini Catatan dari Pelaku Industri Manufaktur
Hanya saja, pelemahan kurs rupiah membawa faktor biaya dan risiko tersendiri. Sebab, komponen impor seperti bahan-bahan penunjang dan mesin ikut mengalami kenaikan harga. Selain itu, ada kenaikan dari sisi cicilan utang serta biaya pengangkutan berdenominasi dolar AS.
Dampak lain yang menjadi perhatian adalah volatilitas yang dapat memperumit penetapan harga kontrak serta kebutuhan modal kerja dalam rupiah. Sobur pun menyimpulkan jika rupiah bergerak stabil pada level Rp 16.700 - Rp 16.800 per dolar AS, maka eksportir bisa merasakan net-benefit tipis, dengan asumsi ekspor murni dalam dolar AS dan komponen impor yang rendah-sedang.
"Namun volatilitas dan kenaikan biaya terkait dolar AS bisa menetralkan keuntungan kurs. Apalagi di sub sektor yang terpapar tarif baru AS," tegas Sobur.
Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko punya catatan serupa. Eksportir berharap adanya stabilitas atau fluktuasi kurs yang terukur, sehingga bisa menghitung modal dan harga pokok penjualan dengan lebih akurat.
Eddy mengatakan industri alas kaki yang berorientasi ekspor maupun pasar domestik memiliki porsi bahan yang mesti diimpor. Dus, fluktuasi kurs juga rawan menggerus margin keuntungan, terutama bagi perusahaan alas kaki yang mengandalkan pasar domestik.
Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM) Rachmad Basuki mengamini, fluktuasi kurs membawa dampak plus-minus bagi industri, termasuk komponen otomotif. Rachmad bilang, sudah banyak perusahaan komponen otomotif yang menjadi rantai pasok global sehingga sudah terbiasa mengantisipasi fluktuasi kurs.
Penguatan dolar AS bakal membuat pelaku industri yang berorientasi ekspor menjadi lebih kompetitif. Hanya saja, ketergantungan industri komponen otomotif terhadap bahan baku (raw material) impor juga masih dominan. "Sebenarnya kondisi kurs yang stabil akan lebih baik untuk industri ini karena asumsi tadi, ada ekspor - impor," ungkap Rachmad.
Baca Juga: Kemenperin Targetkan Kontribusi Manufaktur 18,66% ke PDB di 2026
Dihubungi terpisah, Direktur PT Intraco Penta Tbk (INTA) Willianto Febriansa menyampaikan bahwa fluktuasi kurs turut berdampak terhadap industri alat berat. Kondisi ini menjadi tantangan bagi produk alat berat yang secara unit maupun komponen dan suku cadang didatangkan melalui impor.
Willianto bilang, ketika dolar AS mengalami apresiasi terhadap rupiah, biasanya mata uang Yuan China (CNY) juga mengikuti. Saat ini, INTA bersama prinsipal alat berat LiuGong masih mencermati fluktuasi rupiah terhadap dolar AS maupun CNY.
Apabila kurs dolar AS dan CNY terus menunjukkan apresiasi terhadap rupiah, maka tidak menutup kemungkinan untuk menyesuaikan harga penjualan. "Kami masih menunggu konfirmasi dari prinsipal untuk hal ini. Jadi, prinsipal yang melakukan impor alat dan parts, sehingga jika ada apresiasi kurs CNY ke rupiah akan menambah beban harga pokok," terang Willianto.
Willianto berharap, kurs rupiah akan bisa kembali menguat dan bergerak stabil dalam rentang Rp 16.000 - 16.250 per dolar AS, serta Rp 2.100 - Rp 2.200 per CNY. "Pelaku industri sangat mengharapkan kestabilan kurs mata uang asing, sehingga dapat membuat perencanaan keuangan dengan baik," tandas Willianto.
Baca Juga: Manufaktur Indonesia Menggeliat, PMI Tembus 51,5 di Agustus 2025
Selanjutnya: Dampak Memarahi Anak di Depan Umum: Kenali Risiko Mental & Sosial
Menarik Dibaca: Tips Praktis Nutrisi Anak Gen Alpha Lewat Susu & Mikronutrien
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News