kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pedagang beras menentang keras aturan HET


Senin, 24 Juli 2017 / 13:10 WIB
Pedagang beras menentang keras aturan HET


Reporter: Lidya Yuniartha, Noverius Laoli | Editor: Dupla Kartini

JAKARTA. Para pedagang beras sedang meradang dan gundah gulana. Sebab, pemerintah mendadak merilis harga eceran tertinggi (HET) beras di tingkat konsumen di level Rp 9.000 per kilogram (kg) untuk semua jenis beras, dan tidak ada istilah beras medium maupun premium.

Kebimbangan tersebut bersumber dari Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 47/2017, sebagai revisi Permendag 27/2017 tentang Harga Acuan Bahan Pangan. Aturan revisi itu terbit pada 18 Juli 2017 atau dua hari sebelum polisi menggerebek gudang beras milik anak usaha PT Tiga Pilar Sejahtera Tbk (AISA), PT Indo Beras Unggul.

Selain sulit menurunkan harga beras di pasaran, aturan ini juga dinilai hanya merugikan petani dan pedagang beras. Apalagi aturan itu terbit mendadak tanpa sosialisasi. "Aturan ini abu-abu dan rawan disalahgunakan," kata Sutarto Alimoeso, Ketua Umum Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi), kepada KONTAN, Minggu (23/7).

Dia mencontohkan, produsen beras organik akan terpukul aturan ini karena harganya ditetapkan Rp 9.000 per kg. Padahal, biaya produksi beras organik jauh di atas produksi beras biasa. "Kami menginginkan diskusi agar tidak membingungkan," ujarnya lagi.

Bahkan Ketua Koperasi Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) Zulkifli Rasyid menandaskan, PIBC akan menentang aturan ini dan menolak mengikuti HET. Sebab harga beras tergantung pada harga pembelian petani. "Kalau kami beli beras Rp 9.500 atau Rp 9.700 per kg, mustahil kami jual Rp 9.000 per kg," katanya.

Apalagi menurutnya, mutu beras bukan hanya satu atau dua saja, namun bervariasi. Karena itu, sebelum menentukan HET, pemerintah harus terlebih dahulu menciptakan standar mutu jenis beras.

Billy Haryanto, pedagang beras PIBC, berharap aturan ini direvisi. Sebab penetapan HET beras sulit direalisasikan dan bisa berbahaya bagi ketahanan pangan nasional.

Maklum, selama ini pedagang besar menguasai stok beras saat bulan paceklik. "Oktober sampai Januari, yang punya beras tinggal pemain besar," terangnya.

Pengamat pertanian Husein Sawit menilai, penetapan HET beras belum melalui penelitian yang jelas dan bisa memicu krisis beras. "Harga batas atas dan HPP harus ada margin yang wajar. Kalau tipis sekali, penggilingan padi dan pedagang tak mau menyerap gabah petani dan tidak mau membawa antar pulau. Itu yang terjadi tahun 80-an," katanya.

Namun, Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan Karyanto Suprih menyatakan, penetapan HET sudah melalui proses perhitungan yang cermat. Beras jenis medium dan premium juga tetap ada. "Ketentuan detilnya nanti ditentukan oleh Kementerian Pertanian," tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×