Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri alat kesehatan (alkes) ingin mengurangi ketergantungan terhadap produk impor. Namun, ada sejumlah catatan yang menjadi perhatian pelaku industri terkait pengembangan manufaktur dan pasar alkes di dalam negeri.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki) Erwin Hermanto mengungkapkan porsi impor produk alkes masih dominan. Erwin memberikan gambaran, berdasarkan pengadaan barang di e-katalog, impor alkes pada tahun lalu tercatat sekitar 52%.
Impor alkes didominasi oleh produk berteknologi tinggi yang belum bisa dipenuhi dari produksi di dalam negeri. Contohnya adalah Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed Tomography (CT) scan. Impor produk alkes dipenuhi dari sejumlah negara seperti China, Amerika Serikat dan Eropa.
Meski masih mendominasi pengadaan produk alkes, tapi Erwin menyatakan bahwa porsi impor sudah mengalami penurunan signifikan. Secara historis sebelum era covid-19, porsi impor dalam pengadaan e-katalog pernah mencapai 92%.
Baca Juga: Kalbe Farma (KLBF) Targetkan Bisnis Alat Kesehatan Tumbuh High Single Digit
"Secara angka, impor masih di atas 50%. Tapi dalam beberapa tahun terakhir ada penurunan yang cukup signifikan. Impor lebih banyak pada produk berbasis teknologi tinggi yang belum ada produksinya di dalam negeri. Tapi kita juga sudah mulai beranjak ke arah sana," ungkap Erwin kepada Kontan.co.id, Rabu (23/7).
Menurut Erwin, salah satu faktor yang memangkas impor produk alkes adalah implementasi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Percepatan Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri. Inpres ini menjadi stimulus yang mendorong penyerapan produk dalam negeri, terutama pada pengadaan barang pemerintah.
Selain itu, sejumlah pelaku usaha di industri alkes juga mendirikan fasilitas produksi di dalam negeri.
Tengok saja aksi PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) melalui anak usahanya, PT Forsta Kalmedic Global yang menggandeng GE HealthCare Technologies Inc. untuk mengembangkan fasilitas produksi CT Scan pertama di Indonesia, yang telah diresmikan pada awal Juni 2025.
Head of Corporate External Communication Kalbe Farma, Hari Nugroho mengungkapkan KLBF menggandeng mitra strategis dengan perusahaan multi nasional supaya bisa mendapatkan transfer teknologi.
"Untuk mendukung upaya pemerintah menciptakan kemandirian di bidang kesehatan melalui TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) dalam industri alkes, Kalbe terus membangun kapasitas untuk memproduksi secara lokal di Indonesia," kata Hari saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (22/7).
Masih di bulan Juni, PT Dräger Indonesia juga mengembangkan manufaktur alkes di dalam negeri dengan meluncurkan fasilitas produksi ventilator. Kementerian Perindustrian pun menyambut baik investasi manufaktur alkes tersebut.
Baca Juga: Pelaku Industri Alat Kesehatan Khawatirkan Dampak Penurunan Tarif Produk AS ke RI
Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza memproyeksikan kebutuhan alat kesehatan dalam negeri akan terus meningkat, yang didorong oleh pertumbuhan penduduk, dinamika epidemiologi, serta ekspansi fasilitas layanan kesehatan. Oleh sebab itu, manufaktur alkes di dalam negeri menjadi penting.
Faisol mencontohkan ventilator yang termasuk ke dalam sepuluh besar produk alkes dengan nilai impor tertinggi. Nilainya sekitar US$ 68,4 juta pada tahun 2024, atau meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Faisol mengakui, dominasi impor pada sejumlah kategori produk alkes menjadi tantangan bagi kemandirian sektor kesehatan. "Namun di samping itu ada peluang besar yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku industri alkes," ungkap Faisol dalam keterangan tertulis beberapa waktu lalu.
Tantangan di Pasar Dalam Negeri
Aspaki mengapresiasi investasi dan pengembangan manufaktur alkes di dalam negeri, terutama untuk produk dengan teknologi menengah - tinggi. Hanya saja, Erwin memberikan catatan bahwa pemerintah perlu mewaspadai investasi asing untuk produk-produk alkes yang sudah bisa dipenuhi oleh pelaku industri di dalam negeri.
Di tengah berbagai dinamika ekonomi dan geo politik, Erwin menyoroti kondisi industri di China yang berpeluang membawa relokasi pabrik ke Indonesia.
"Mereka punya keunggulan akses pasar dan sumber daya ekonomi yang lebih besar, sehingga kami khawatir akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat, terutama dari sisi harga," ungkap Erwin.
Erwin pun menyarankan agar investasi asing bisa lebih berfokus pada manufaktur produk dengan teknologi menengah-tinggi yang bisa membawa transfer teknologi. Selain itu, investasi asing juga memerlukan pelibatan atau kerja sama dengan perusahan lokal.
"Jadi mereka masuk tidak hanya mengambil pasar, tapi ada transfer teknologi yang bermanfaat," imbuh Erwin.
Baca Juga: Dorong Kemandirian Industri Alkes, Kemenperin Apresiasi PT Drager Indonesia
Di sisi lain, kondisi pasar alkes di dalam negeri juga sedang tertekan. Erwin bilang, terjadi penurunan volume dan nilai penjualan alkes pada semester I-2025. Tingkat penurunan bervariasi pada masing-masing jenis alkes. Erwin menggambarkan, rata-rata level penurunannya antara single digit dan dobel digit.
Erwin menduga, penurunan penjualan produk alkes juga terdampak oleh kondisi ekonomi, terutama efisiensi anggaran serta pelemahan daya beli yang menahan konsumsi masyarakat dan swasta. Padahal, pada awal tahun ini Aspaki memproyeksikan tingkat penjualan alkes bisa mencapai level 8%.
Menimbang kondisi semester pertama dan dinamika ekonomi saat ini, harapan Erwin tidak muluk-muluk. Dia hanya berharap ada pemulihan pasar pada semester II-2025 sehingga tingkat penjualan di akhir tahun masih bisa tumbuh dibandingkan 2024.
"Kami belum melihat data secara detail, tapi kelihatannya angka 8% agak sulit. Namun kami masih berharap secara keseluruhan bisa tumbuh dibandingkan tahun lalu," ungkap Erwin.
Sementara itu, KLBF masih optimistis dengan outlook bisnis alkes. KLBF ingin mendongkrak kontribusi dari segmen bisnis ini. Peluang itu terbuka lebar lantaran kontribusi bisnis alkes baru sekitar 5% terhadap total bisnis distribusi dan logistik KLBF.
"Untuk outlook pertumbuhan medical device secara keseluruhan kami targetkan bisa bertumbuh high single digit," ujar Hari.
Dihubungi terpisah, PT Haloni Jane Tbk (HALO) juga punya optimisme serupa.
Direktur Haloni Jane, Taufan Kurniawan mengatakan pangsa pasar dalam negeri masih cukup besar. Taufan bilang, produsen sarung tangan medis masih sangat mampu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Dus, Taufan berharap Pemerintah dapat memberikan pengawasan terhadap produk-produk impor, serta dukungan lebih terhadap produsen alkes dalam negeri. "Dukungan Pemerintah terhadap pelaku usaha sarung tangan seperti kami akan berdampak langsung terhadap industri perkebunan karet dan para petani kecil," tandas Taufan.
Selanjutnya: Pemerintah Jadikan Gabungan Kelompok Tani Jadi Titik Distribusi Pupuk Subsidi
Menarik Dibaca: Fitur Lifestyle Hadir di PLN Mobile, Perluas Layanan ke Ranah Hiburan dan Gaya Hidup
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News