kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45906,29   2,96   0.33%
  • EMAS1.310.000 -0,23%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pembagian dana pungutan hasil ekspor CPO disebut tidak adil, ini kata Apkasindo


Jumat, 11 Juni 2021 / 16:28 WIB
Pembagian dana pungutan hasil ekspor CPO disebut tidak adil, ini kata Apkasindo
ILUSTRASI. Pembagian dana pungutan hasil ekspor CPO disebut tidak adil, ini kata Apkasindo


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat ME Manurung, menepis komentar terkait adanya penyaluran hasil dana pungutan ekspor sawit 2021, bahwa ada beberapa petani sawit yang mengaku pembagian porsi dalam penyaluran crude palm oil  (CPO) Fund tidak adil. Saat ini besaran ekspor CPO 2021 sudah mencapai US$ 255 per ton.

Gulat merasa tidak ada alasan jelas terkait ketidakadilan yang dilontarkan petani sawit tersebut. Justru, Dia mengatakan petani sawit sangat bahagia dengan adanya pungutan ekspor tersebut.

Alasannya dengan adanya pungutan ekspor dapat meningkatkan beberapa program seperti untuk Sumber Daya Manusia (SDM) petani, pelatihan petani kelapa sawit, juga dana pendidikan (beasiswa) untuk anak-anak pekerja kelapa sawit.

“Saya tidak mengatakan sempurna. Namun untuk saat ini sudah cukup baik dan adil” kata Gulat saat dihubungi Kontan.co.id, Jum’at (11/6).

Baca Juga: Apkasindo gelar pertemuan 451 petani sawit bahas legalitas lahan & harga TBS

Alasannya, meskipun CPO dinilai tinggi, namun akan beriringan dengan harga Tandan Buah Segar (TBS) petani naik. Jika di konversikan beban eskpor tersebut sudah dibagi rata, terdapat beban yang bisa ditanggung korporasi, ada juga yang ditanggung petani.

Jika beban tersebut ditanggung petani, maka petani bisa membayarnya dengan harga TBS yang naik yaitu Rp 362 per kilogram. Menurutnya, adanya pengurangan ekspor tidak menjadi masalah. Karena dengan adanya pungutan ekspor maka serapan biodisel dan serapan CFO dalam negeri meningkat signifikan. Dan ketersediaan CFO dunia berkurang. Akan tetapi hikmahnya TBS petani meningkat.

Sebelum adanya peraturan Menteri Keuangan No. 191 tahun 2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan. Harga TBS petani kisaran maksimal Rp 1.200.

Baca Juga: GIMNI minta kepastian revisi pungutan ekspor sawit

Namun saat ini rata-rata sudah mencapai Rp. 2.200 sampai dengan Rp. 2.500 per kg. Dengan itu maka harga TBS akan terjaga sehingga jika dikatakan tidak merata atau tidak adil, itu tidak ada dasarnya, ujar Gulat.

Bagi gulat, pungutan ekspor sebaiknya jangan dilihat dari seberapa besar bagian untuk petani ataupun korporasi. Akan tetapi, harus dilihat dari pungutan ekspor tersebut telah berhasil menjaga harga CFO dunia. Karena, dengan pungutan ekspor maka perusahaan-perusahaan yang menghasilkan CFO harus berpikir keras bagaimana meningkatkan hilirisasi di dalam negeri. sehingga ekspornya tidak hanya CFO, tetapi sudah dalam bentuk turunan.

Baca Juga: Pemerintah didesak melibatkan petani dalam memasok bahan baku industri biodiesel

“Pungutan ekspor untuk CFO kan mahal sekali, sedangkan hilirisasi lebih murah. Jadi orang berpikir bagaimana menghilirisasikan produk CFO tadi dalam bentuk turunan, jadi tidak mentahnya saja yang di ekspor,” sambung Gulat.

Akibatnya perusahaan akan mengurangi kuota ekspor CFO dari Indonesia, sehingga  ketersediaan CFO dunia akan berkurang. jika saat ini hampir 9,2 juta ton biosolar yang dibutuhkan CFO. Artinya serapan dalam negeri meningkat drastis.

Selain itu, untuk subsidi biodisel dan untuk peremajaan kebun petani Gulat menyampaikan ada Sekitar 6 Triliun uang yang ada di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) terserap di PSR. 

Selanjutnya: Harga CPO melemah untuk hari kelima secara berturut-turut

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×