Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Polemik tahunan soal tata kelola sampah kerap muncul pada momentum hari lingkungan hidup. Pengulangan narasi di setiap hari Sampah Nasional, belum diikuti realisasi yang konkrit.
Sampah di Indonesia merupakan masalah serius yang berdampak pada sosial, ekonomi dan sosial masyarakat. Hampir semua kota di Indonesia mengalami kendala dalam mengelola sampahnya. Kota boleh terlihat bersih, tapi muaranya sampah menumpuk di sungai, laut, dan ditimbun Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Ini terjadi bukan hanya masalah kurangnya anggaran, namun utamanya karena tidak ada keberanian kepala daerah untuk berinvestasi pada solusi jangka panjang tata kelola sampah. Dampaknya, proses pengumpulan sampah hanya berakhir menjadi timbulan sampah, dan mencemari lingkungan.
Publikasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2020 lalu, timbulan sampah di Indonesia satu tahunnya mencapai 67,8 juta ton dan terus naik setiap tahunnya. Berdasarkan data tersebut, sekitar 60 persen sampah diangkut dan ditimbun ke TPA, 10% sampah didaur ulang, sedangkan 30% lainnya tidak dikelola secara baik.
Baca Juga: Bisnis sebagai jawaban masalah darurat sampah makanan di Indonesia
"Di tahun 2025, bisakah kita mewujudkan apa yang telah ditetapkan presiden di tahun itu, pengelolaan sampah kita bisa dikelola 100 persen. Itu masih dalam kondisi pertimbangan minimal, dengan 30 persen pengurangan dan 70 persen penanganan (sampah)," jelas Direktur Pengelolaan Sampah KLKH Novrizal Tahar dalam keterangannya saat pertemuan daring Waste4Change Appreciation Day beberapa waktu lalu.
Visinya agresif, namun apakah ada kesanggupan? Khususnya di kota kota besar di Indonesia, lahan TPA tidak hanya kritis namun terlalu dekat dengan masyarakat dan mengakibatkan turunnya kualitas lingkungan masyarakat khususnya terkait sumber air. Dampaknya pencemaran tidak hanya di sekitar TPA namun bisa mencemari sumber-sumber air di dalam satu kota tersebut.
Prinsipnya, pengelolaan sampah merupakan hak dasar masyarakat dan kewajiban yang melekat pada pemerintah pusat yang di laksanakan oleh pemerintah tingkat kota/kabupaten.
Dengan pertimbangan ini, Presiden Joko Widodo merilis Peraturan Presiden No.35 tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan untuk mengejar ketertinggalan tata kelola sampah, yang terus meningkatkan timbulan sampah di TPA berbagai kota besar di tanah air.
Perpres tersebut memberikan amanat dan dukungan kepada 12 kota untuk mempercepat upaya penanggulangan sampahnya dengan melakukan pemusnahan sampah secara sistematis dan tuntas dengan mempercepat pembangunan atau pengembangan investasi fasilitas Pembangkit Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan atau dikenal dengan PLTSa.
Soal nilai ekonomi, tentu PLTSa tidak bisa dibandingkan antara biaya produksi listrik dari pembangkit energi non terbarukan seperti batubara, atau BBM. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada rapat terbatas tahun 2019 bahkan menekankan bahwa PLTSa fokus menyelesaikan sampahnya lewat pemusnahan secara masif, kemudian hasil sampingannya adalah energi listrik.
“Semangat dari pembangunan PLTSa ini tidak hanya terletak pada urusan penyediaan listrik semata. Namun, jauh lebih besar dari itu, pemerintah hendak membenahi salah satu permasalahan soal manajemen sampah,” ujar Jokowi.
Baca Juga: Pembangunan ekosistem terintegrasi bisa dorong minat masyarakat terhadap KBLBB
Rumitnya, PLTSa saat ini masih belum cukup dipahami oleh para pembuat kebijakan dan mengakibatkan hilangnya arah kebijakan. PLTSa dipandang sebagai beban negara karena listrik yang dijualnya dihargai lebih tinggi daripada listrik dari bahan bakar fosil lainnya.
Bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat menyatakan diperlukan opsi teknologi lain atau breakthrough sebagai solusi pengolahan sampah yang efektif, efisien dan tidak memberatkan APBN/APBD. Faktanya, penjualan listrik dari PLTSa, hanya merupakan cara supaya biaya pengolahan sampahnya menjadi lebih bisa didanai oleh APBD.
Hilangnya visi yang jelas pada kebijakan ini mengakibatkan penundaan-penundaan eksekusi penanganan kedaruratan sampah nasional dan mengakibatkan kerugian negara. Bahkan Bank Dunia mengungkap kerugian Indonesia akibat sampah laut mencapai US$ 450 juta. Jika dikonversikan dengan rupiah, angka tersebut sekitar Rp 6,5 triliun (kurs Rp 14.450 per dolar AS).
“Sepertinya birokrasi kita belum punya rasa darurat yang sama terkait penanganan sampah, bahwa Presiden Jokowo sudah menyatakan sejak 2015 Indonesia darurat sampah, dan sampai sekarang masih begitu saja. Ibarat pasien sudah masuk ICU tapi penanganan masih santai saja. Apalagi ditambah, kepala daerah belum punya masterplan tata kelola sampah yang komprehensif.” tegas Sri Bebassari, Pendiri dan Ketua Dewan Pembina Indonesia Solid Waste Association (InSWA)
Pemerintah Kota Surabaya merupakan salah satu kota yang paling visioner terkait tata kelola sampah dimana jauh sebelum Perpres 35 tahun 2018 diluncurkan, diperkuat dengan Perpres 109 tahun 2020 yang menyatakan bahwa Program Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) masuk dalam program strategis nasional, memperkuat posisi 12 kota untuk merealisasikan ini dengan lebih cepat lagi; Kota Surabaya telah menginisiasi pembangunan PLTSa di Benowo.
Menurut laporan, PLTSa Benowo sudah rampung, dan sebentar lagi akan diresmikan oleh Presiden. PLTSA ini siap beroperasi memusnahkan timbulan sampah, dengan hasil produktif sampingannya adalah energi listrik 11 MW serta pemusnahan sampah mencapai 365.000 ton per tahun. Jalan untuk mencapai ke titik ini sudah dimulai lebih dari 10 tahun yang lalu.
Kota Tangerang juga salah satu yang sudah mencapai progres realisasi PLTSa. Menurut sumber di Pemkot Tangerang proses lelang dan pemenangnya sudah ditentukan, dan sudah dalam tahap finalisasi Perjanjian Kerjasama.
Baca Juga: Pemerintah dorong milenial untuk mengelola sampah
Dukungan pemerintah pusat kepada Kota Tangerang pun sudah hadir melalui Kementerian PUPR yang telah melakukan revitalisasi TPA Rawakucing pada tahun 2018 yang lalu, sebagai bagian dari persiapan PLTSa ini.
Menurut laman resmi Kementerian Pekerjaan Umum, biaya untuk merevitalisasi area seluas 35 hektare tersebut adalah Rp 82,73 miliar bersumber dari dana APBN. Sayangnya saat ini, hasil pembangunan tersebut sudah semakin tidak terlihat akibat tumpukan sampah. Lagi-lagi ini karena penundaan realisasi pembangunan fasilitas PLTSa.
Masyarakat Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar listrik murah, namun juga peningkatan kualitas kesehatan lewat kebersihan, sanitasi, udara bersih, dan tidak menyisakan utang timbunan sampah kepada anak-cucu dan dunia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News