Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Sofyan Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada kuarta I-2018, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) mencatat pembangunan listrik dari megaproyek ketenagalistrikan 35.000 Megawatt (MW) baru mencapai 5,71% atau 1.500 MW – 2.000 MW. Artinya megaproyek ini masih jauh dari target penyelesaian pada tahun 2019.
Direktur Regional Bagian Jawa – Bali PLN, Haryanto WS menyatakan bahwa realisasi pembangunan pembangkit bukan rendah, hanya saja disesuaikan dengan demand atau kebutuhan listrik pada tahun 2018 ini.
Adapun juga, kata Haryanto, pembangunan pembangkit listrik membutuhkan waktu yang lumayan lama. “Yang penting kan kebutuhan listrik mencukupi, sesuai dengan kebutuhan demand yang ada,” terangnya saat ditemui di Hotel Mandarin Oriental, Senin (14/5).
Namun sayangnya, Haryanto tidak bisa merinci, pembangkit mana saja yang sudah masuk kedalam tahapan Commercial on Date (COD). Ia bilang, salah satunya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) Tanjung Priuk berkapasitas 300 MW. "2018 baru 1500–2000 MW. Mungkin bisa sampai 3000 MW," jelasnya.
Haryanto juga bilang, bahwa yang terpenting, minimal reserve margin bisa tercapai. Adapun targetnya, pada tahun ini reserve margin mencapai 27%-30%. Bisa dipastikan, pada tahun 2019, pertumbuhan pembangkit listrik mencapai 8%.
“Jika listrik naik di atas 7%. Maka ekonomi kita akan tumbuh,” ungkapnya. Ia juga menargetkan, pada tahun 2019, PLTU Jawa 7 dan PLTU Lontar juga ditargetkan bisa beroperasi.
Asal tahu saja, pada akhir semester II tahun 2017, Kementerian ESDM mencatat, kapasitas pembangkit yang sudah memasuki tahap konstruksi telah mencapai 16.992 MW, tahap penandatangan perjanjian jual beli listrik, namun belum konstruksi 12.726 MW, pengadaan 2.790 MW, dan perencanaan 2.228 MW.
Dengan beroperasinya pembangkit listrik 35.000 MW, PLN memastikan, setelah tahun 2019, tarif listrik di Indonesia semakin kompetitif . Hal itu, lantaran biaya pokok produksinya rendah.
Haryanto WS bilang, saat ini PLN dan pemerintah telah berkomitmen, untuk tidak menaikan tarif listrik sumua golongan hingga 2019. Hal ini untuk menjaga daya beli masyarakat dan daya saing industri.
Dia mengungkapkan, tarif listrik semakin rendah, karena teknologi yang digunakan pembangkit semakin canggih. Dengan begitu, biaya produksi listrik bisa semakin murah. Haryanto mencontohkan, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU?) rata-rata US$ 4 sen per kilo Watt hour (kWh). "Insyaallah setelah 2019 beroperasinya pembangkit besar tarif listrik PLN lebih kompetitif lagi," ujarnya.
Menurut Haryanto, beroperasinya pembangkit listrik maka akan meningkatkan ketersediaan pasokan listrik, sehingga sektor industri akan tumbuh karena kebutuhan listriknya bisa dipenuhi, hal ini akan mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi.
"Ini akan mendorong tumbuhnya industri di dalam negeri. Kami mohon dapat dukungan stake holder agar infastruktur dimanfaatkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi di Jawa Bali," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News