Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Merembesnya gula rafinasi ke pasar konsumsi masih menjadi permasalahan utama dalam pasar gula nasional. Hal ini terjadi karena perbedaan harga yang cukup tajam antara gula rafinasi dengan gula kristal putih yang terjadi karena adanya restriksi (pembatasan) yang dikenakan pada kebijakan impor gula kristal putih.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Novani Karina Saputri mengatakan, restriksi yang ditetapkan pemerintah pada kebijakan impor gula kristal putih relatif lebih ketat dibandingkan gula rafinasi. Pasalnya, Gula kristal putih hanya bisa diimpor oleh BUMN dengan volume impor yang ditentukan dan dibatasi serta waktu impor yang sangat tergantung pada rapat koordinasi antar kementerian.
“Apabila pembatasan ini mampu menjamin ketersediaan gula yang sesuai dengan permintaan konsumen sehingga harga dapat lebih terjangkau tidak masalah. Tapi sayangnya sering didapati kebijakan impor kurang efektif meredam gejolak harga di pasar. Hal ini dikarenakan beberapa kemungkinan seperti jumlah entitas impor dan produsen yang terbatas sehingga berpeluang adanya praktik kartel, atau penetapan kuota impor yang sering tidak sesuai dengan jumlah permintaan yang sebebarnya. Hal-hal semacam inilah yang membuat tingginya harga GKP dan semakin besarnya disparitas harga kedua jenis gula ini,” ungkap Novani seperti yang tertera dalam keterangan tertulis yang diterima Kontan.co.id, Kamis (24/5).
Menurut Novani, pemerintah harus mengevaluasi beberapa hal, seperti tidak adanya mekanisme yang jelas dalam penentuan BUMN yang diberikan wewenang untuk mengimpor. Selain itu, penentuan volume impor yang didasarkan data yang berbeda dari berbagai institusi juga membuat jumlah kebutuhan impor menjadi tidak akurat.
Pada kebijakan impor gula rafinasi, selain BUMN, pihak swasta juga diberikan kewenangan dalam mengimpor. Dengan adanya pelibatan pihak swasta, maka mereka dapat mengimpor sesuai dengan kebutuhan pasar domestik dan tidak meminimalisir adanya penetapan harga oleh pihak-pihak tertentu. Selain itu, dalam proses impor gula rafinasi tidak diperlukan adanya surat rekomendasi dari ditjen kementerian terkait membuat proses impor menjadi lebih mudah. Hal ini tidak menutup kemungkinan menjadi salah satu pemicu mengapa secara jumlah permintaan gula rafinasi dapat dipenuhi sehingga harga gula rafinasi dapat lebih terjangkau.
“Hal ini menyebabkan harga gula rafinasi menjadi lebih murah daripada harga gula kristal putih. Harga gula rafinasi per kilogramnya berkisar antara Rp 8.000 – Rp 8.800. Sementara itu gula kristal putih dijual di kisaran lebih dari Rp 12.000 per kilogramnya. Perbedaan harga ini membuka celah adanya rembesan gula rafinasi ke pasar gula kristal putih,” jelas Novani.
Novani pun berpendapat, pemerintah seharusnya melonggarkan restriksi terhadap kebijakan gula kristal putih agar harganya bisa bersaing secara kompetitif dengan gula rafinasi. Restriksi yang diterapkan kepada kebijakan impor gula konsumsi seharusnya disamakan dengan yang diterapkan pada gula rafinasi. Dengan harga yang kompetitif, diharapkan tidak akan ada lagi kebocoran.
CIPS Anggap Pembatasan Berlebihan Pada Kebijakan Impor GKP Akibatkan Rembesnya Gula Rafinasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News