Reporter: Leni Wandira | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana Pemerintah Provinsi Jawa Barat menerapkan pembatasan truk over dimension over loading (ODOL) mulai Januari 2026 menuai keberatan dari pelaku logistik dan pakar transportasi. Kebijakan yang dinilai lebih cepat dari rencana pemerintah pusat ini dikhawatirkan menimbulkan tekanan baru pada biaya logistik dan struktur harga barang.
Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Mahendra Rianto menilai, langkah Pemprov Jabar tidak sejalan dengan arah kebijakan nasional. Pemerintah pusat disebut baru akan memulai pengetatan aturan ODOL pada 2027.
"Daerah seharusnya mengikuti pusat. Kalau berbeda sendiri, struktur kewenangannya jadi tidak jelas,” kata Mahendra dalam keterangannya, Rabu (19/11/2025).
Ia juga meragukan argumen kerusakan jalan yang menjadi dasar pembatasan ODOL. Menurutnya, kajian teknis belum cukup kuat untuk dijadikan alasan penerapan kebijakan yang berdampak langsung pada biaya angkutan. Pengurangan kapasitas muatan akan membuat operator truk menambah jumlah perjalanan, sehingga beban biaya meningkat.
Baca Juga: Kemenhub Percepat Pembentukan Tim Tangani Truk Odol, Ini Tugasnya
"Biaya transportasi mempengaruhi harga sampai 40%. Efeknya bola salju; biaya naik, harga ikut naik,” ujarnya.
Industri dengan rantai distribusi panjang, termasuk air minum dalam kemasan (AMDK), disebut berpotensi terkena dampak paling awal. Penyesuaian kapasitas truk akan mendorong kenaikan ongkos distribusi di berbagai tahap, mulai dari pasokan bahan baku hingga titik ritel. Kenaikan biaya ini pada akhirnya ditransfer ke harga produk. “Pada akhirnya masyarakat yang paling terdampak,” kata Mahendra.
Pakar transportasi dari Institut Transportasi dan Logistik Trisakti, Suripno menambahkan, kebijakan tersebut juga memiliki persoalan kewenangan. Gubernur, ujarnya, tidak berwenang mengatur lalu lintas di jalan nasional maupun melakukan penegakan hukum tanpa koordinasi dengan kepolisian. “Jalan nasional itu kewenangan pusat. Tidak bisa diatur sepihak,” tutur Suripno.
Wakil Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, juga menilai langkah Jabar berpotensi membuat kebijakan ODOL berjalan tidak seragam antarwilayah. Ia menekankan bahwa logistik merupakan sistem nasional yang tidak dapat diatur berdasarkan wilayah administratif. “Kalau tiap daerah membuat aturan sendiri, arus barang justru terganggu,” katanya.
Baca Juga: Biaya Logistik Terancam Naik, Industri Minta Penerapan Zero ODOL Lebih Realistis
Sejumlah pakar memperkirakan penerapan pembatasan ODOL di Jabar akan menimbulkan konsekuensi lanjutan berupa kenaikan biaya operasional, potensi kemacetan akibat bertambahnya frekuensi perjalanan truk, serta tekanan harga di tingkat konsumen. Kondisi ini dinilai dapat menahan pergerakan ekonomi daerah jika tidak dikoordinasikan secara komprehensif dengan kebijakan pusat.
Sebelumnya, pemerintah pusat, DPR, dan Aliansi Pengemudi Independen (API) sepakat memulai zero ODOL pada 2027, dan telah membentuk tim untuk merumuskan implementasi teknis kebijakan tersebut.
Selanjutnya: Mantan Menteri Keuangan AS Larry Summers Mengundurkan Diri dari Dewan Direksi OpenAI
Menarik Dibaca: Pasar Kripto sedang Extreme Fear, Ini Saran Bagi Investor Kripto
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













