Reporter: Filemon Agung | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Krisis pasokan batubara yang melanda PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berimbas pada lahirnya kebijakan larangan ekspor batubara mulai 1 Januari 2022 hingga 31 Januari 2022.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara dalam infografisnya mengungkapkan 20 PLTU di Wilayah Jawa, Madura dan Bali dengan daya 10.850 MW akan padam jika batubara tidak segera dipasok ke PLN. "10 Juta pelanggan listrik akan terkena dampak," demikian dikutip dari infografis tersebut, Minggu (2/11).
Kementerian ESDM pun memastikan, setelah krisis pasokan batubara dapat diatasi maka ekspor akan dibuka kembali. Sebelumnya, Kementerian ESDM sempat menyoroti PLN yang mayoritas kontrak batubaranya dilakukan dengan trader dan bukan dengan perusahaan penambangan.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengungkapkan kontrak pengadaan batubara PLN dengan IUP OPK angkut jual porsinya mencapai 38%. Sementara dengan perusahaan PKP2B hanya sebesar 31%.
Baca Juga: Kementerian ESDM Tegaskan Harga Jual Batubara untuk Kelistrikan Tetap US$ 70 per Ton
"Ini yang tadi saya sampaikan sebagian besar dari kontrak bukan dengan perusahaan tambang. Ini juga sering jadi kendala saat PLN butuh tambahan pasokan," kata Ridwan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR RI, November lalu.
Pengamat Hukum Energi dan Pertambangan Universitas Tarumanegara Ahmad Redi mengungkapkan dalam pemenuhan DMO maka hal tersebut merupakan kewajiban hukum pemegang IUP dan PKP2B sehingga tidak ada alasan untuk kesulitan memenuhi DMO.
Apalagi, pemenuhan DMO erat kaitannya dengan ketahanan energi nasional.
Redi melanjutkan, dalam proses pemenuhan DMO maka perencanaan pasokan menjadi hal yang penting dilakukan oleh PLN. "Bila perencanaan kebutuhan batubara telah dengan baik dilakukan, tentu krisis pasokan tidak akan terjadi apalagi produksi batubara beberapa waktu terakhir terus meningkat," kata Redi kepada Kontan, Minggu (2/1).
Redi menambahkan Kementerian ESDM pun harus memperketat pengawasan karena pada Agustus lalu sudah ada pelarangan ekspor bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban DMO. Sayangnya, sampai saat ini krisis pasokan batubara masih terjadi. "Berarti pengawasan Kementerian ESDM tidak jalan optimal dan tidak diantisipasi sejak bulan Agustus," ungkap Redi.
Sementara itu, sejumlah pelaku usaha turut buka suara terkait kebijakan larangan ekspor ini.
Baca Juga: Pengamat: Pemerintah Perlu Cabut IUP Perusahaan yang Tak Penuhi DMO Batubara 25%
Sekretaris Perusahaan PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS) Sudin Sudiman mengungkapkan, pihaknya juga terkejut dengan kebijakan pemerintah melarang ekspor batubara.
Namun, dengan pertimbangan pemenuhan kebutuhan batubara untuk pembangkit listrik, kebijakan tersebut dapat dimengerti. "Namun (kami) bisa mengerti akan resiko yang dihadapi jika tidak mengambil langkah cepat dan tepat untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh PLN," kata Sudin kepada Kontan.co.id, Minggu (2/1).
Kendati demikian, Sudin mengungkapkan, pihaknya berharap agar ada kesepakatan yang dapat tercapai antara Kementerian ESDM dan pelaku usaha terkait permasalahan ini.
Menurutnya, realisasi pasokan Domestic Market Obligation (DMO) GEMS hingga kuartal III 2021 mencapai 40%. Merujuk catatan Kontan, produksi batubara GEMS pada kuartal III 2021 mencapai 22,1 juta ton atau turun 7,53% year on year (yoy). Pada kuartal III 2020 lalu GEMS membukukan produksi sebanyak 23,9 juta ton.
Sementara itu, Direktur PT ABM Investama Tbk (ABMM) Adrian Erlangga mengatakan, kebijakan pelarangan ekspor batubara oleh Kementerian ESDM terkesan terburu-buru.
Menurutnya, langkah ini sebetulnya baik karena untuk menjamin kebutuhan energi nasional. Kendati demikian, Adrian menilai jika dilakukan dialog dan diskusi dengan pelaku usaha maka semua pelaku usaha pasti akan mendukung langkah pemerintah. "Misalnya penghentian (ekspor), seluruh penambang ini sudah punya jadwal-jadwal pengiriman sudah diatur dua tiga bulan sebelumnya jadi tidak bisa satu hari langsung berhenti," ujar Adrian, Minggu (2/1).
Dengan demikian, ada potensi beban biaya kelebihan waktu berlabuh atau demurrage yang harus ditanggung pelaku usaha.
Langkah pemerintah melarang ekspor batubara juga dinilai bakal memberikan dampak ekonomi yang cukup besar pada industri pertambangan secara keseluruhan seperti perkapalan batubara, industri alat berat dan sektor terkait lainnya. Meski tak merinci, Adrian memastikan pihaknya selalu memenuhi komitmen DMO batubara.
Selain itu, demi menyiasati kondisi ini maka ABMM pun bakal berupaya untuk menegosiasikan ulang jadwal pengiriman batubara dengan para pembeli. Pihaknya juga berupaya untuk mencari peluang di pasar domestik.
Baca Juga: Pengusaha Berharap Pemerintah Kaji Kembali Kebijakan Larangan Ekspor Batubara
Adrian menjelaskan, kebutuhan batubara domestik mencapai 10 juta ton per bulan sementara produksi nasional mencapai 40 juta ton per bulan. Dengan kondisi ini dapat dipastikan pasar domestik tak dapat menyerap seluruh produksi yang ada serta akan ada persaingan ketat di pasar domestik.
Kondisi ini dinilai juga bakal berimbas pada turunnya harga batubara di pasar domestik dan melonjaknya harga di pasar ekspor. "Apalagi kita di dunia internasional, kebijakan pemerintah dilihat masyarakat internasional," terang Adrian.
Sementara itu, Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Tbk (ADRO) Febriati Nadira mengungkapkan, pemenuhan ketentuan DMO dan memastikan kebutuhan serta pasokan batubara dalam negeri merupakan prioritas ADRO.
"Untuk tahun 2021 DMO Adaro sekitar 11,1 juta ton. Realisasi penjualan domestik pada bulan Januari - Oktober 2021 sebesar 9,69 juta ton," ujar Febriati kepada Kontan, Minggu (2/1).
Febriati melanjutkan, dengan tambahan penjualan pada bulan November dan Desember 2021 maka estimasi total penjualan batubara ke domestik untuk tahun 2021 mencapai 26% hingga 27% dari total produksi. Capaian ini pun dinilai telah memenuhi besaran yang disyaratkan pemerintah yakni 25%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News