Reporter: Tane Hadiyantono | Editor: Handoyo .
"Ekspor ke Hongkong dari Natuna cukup memakan waktu selama enam hari. Bandingkan dengan wilayah lain seperti Bali yang memakan waktu hingga 10 hari, kalau PP sudah memakan waktu 20 hari,” imbuhnya.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan perikanan (KKP), Slamet Soebjakto mengatakan, kepulauan Riau merupakan sentra budidaya kerapu nasional dan secara geografis cukup dekat dengan akses pasar di Hongkong atau Tiongkok.
Untuk daerah lain seperti di Timur Indonesia memang ada penurunan intensitas ekspor, ini disebabkan karena akses yang jauh dari pelabuhan muat singgah. Di sisi lain usaha budidaya banyak yang tidak tersentral dalam satu kawasan, sehingga kuota panen dinilai belum menutupi kapasitas angkut.
Slamet juga menuturkan, bagi pembudidaya ikan kerapu yang terdampak, KKP telah memberikan dukungan program untuk mulai mendiversifikasi komoditas budidaya ke non-kerapu yang memiliki akses pasar lebih luas seperti kakap putih dan bawal bintang di beberapa daerah.
"Di beberapa daerah seperti NTB, budidaya ikan seperti bawal bintang mulai berkembang. Ini saya rasa akan kita dorong sebagai alternatif komoditas selain kerapu,” pungkas Slamet.
Sementara itu, berdasarkan data ekspor kerapu hidup yang dirillis BPS tahun 2018, menunjukkan adanya pola bahwa ekspor kerapu hidup Indonesia setiap tahunnya (2014-2018) mulai meningkat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News