Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ada sejumlah rekomendasi yang dapat mendorong penghematan belanja negara dalam membangun sistem energi di Indonesia hingga 2050 mendatang. Hal itu berdasarkan Laporan yang disusun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama International Energy Agency (IRENA) bertema Indonesia Energy Transition Outlook.
Dalam laporan tersebut diperkirakan populasi Indonesia mencapai 335 juta jiwa selama tiga dekade mendatang. Oleh karena itu, permintaan listrik diperkirakan meningkat hingga lima kali lipat menjadi 1.700 terawatt jam (TWh) lebih dibandingkan kebutuhan saat ini.
Untuk memenuhi permintaan itu, maka Indonesia harus meningkatkan sumber daya utama yang terbarukan seperti energi surya, bioenergi, panas bumi dan lainnya.
Baca Juga: Pemerintah Belum Selesaikan Penyusunan RUU EBET, Ini Persoalan yang Menghambat
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan bahwa transisi energi sangat penting bagi Indonesia.
“Kami berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca dan telah berjanji mencapai target Net Zero Emissions (NZE) yang akan dicapai pada 2060 atau lebih cepat,” ujarnya dalam laporan tersebut yang dipublikasikan Jumat (21/10).
Arifin menyatakan, ada beberapa jalur dekarbonisasi khusus untuk setiap negara yang mempertimbangkan potensi, teknologi, dan ketersediaan pembiayaan.
Dalam kasus Indonesia, selain potensi energi terbarukan juga kemungkinan penerapan Carbon Capture Storage (CCS) yang dapat mendukung jalur dekarbonisasi Indonesia menuju emisi nol bersih.
Direktur Jenderal IRENA Francesco La Camera melihat Indonesia dapat menetapkan dirinya pada jalur menuju net zero emissions dengan biaya lebih rendah daripada alternatif yang ada.
Baca Juga: PLTS Atap Banyak Dikeluhkan, Begini Penjelasan PLN
“Asalkan pemerintah menerapkan langkah-langkah seperti yang direkomendasikan dalam outlook dan mendapat dukungan internasional yang dibutuhkan,” jelasnya.
Menurut outlook ini, selama periode hingga 2050 dalam skenario rencana energi, Indonesia akan membelanjakan hingga US$ 10,7 triliun untuk sistem energi.
Sementara dengan skenario 1,5 derajat (1,5-S), negara hanya akan menghabiskan US$ 10,1 triliun hingga US$ 10,3 triliun. Karena itulah, lewat perencanaan sistem energi di jalur 1,5 derajat secara keseluruhan akan menghemat antara US$ 400 miliar hingga US$ 600 miliar secara kumulatif hingga 2050.
Outlook juga mengungkapkan, dalam 1,5-S, biaya bahan bakar dan listrik yang digunakan di semua sektor penggunaan akhir akan mencapai lebih dari US$ 7 triliun untuk periode hingga 2050 di mana angka ini setara dengan 69% dari total biaya sistem energi.
Di dalam Outlook ini, juga terdapat tiga skenario dekarbonisasi untuk sistem energi Indonesia yang keseluruhan skenario menghasilkan total biaya sistem energi yang lebih rendah dibanding skenario energi yang direncanakan pemerintah.
Temuan lain yang juga terungkap dari Outlook ini adalah bahwa transisi dari bahan bakar fosil membantu mengurangi biaya eksternalitas yang terkait dengan polusi udara dan perubahan iklim.
Dengan skenario 1,5 derajat, biaya eksternalitas tahunan yang dapat dihindari antara US$ 200 miliar hingga US$ 635 miliar. Hal ini menyiratkan bahwa Indonesia berpotensi menghemat antara US$ 20 miliar dan US$ 38 miliar per tahun atau sekitar 2% hingga 4% dari PDB saat ini jika bertransisi ke jalur dekarbonisasi pada pertengahan abad.
Baca Juga: Memangkas Beban Berat PLN, Spin Off PLTU Batubara Dikebut
Untuk merealisasikan penghematan tersebut, Outlook ini merekomendasikan sembilan tindakan yang perlu dilakukan pemerintah Indonesia, yang di antaranya diklasifikasi ke dalam kerangka regulasi dan hukum.
Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia diminta untuk melanjutkan perampingan proses pengadaan energi terbarukan. Kemudian mengembangkan kerangka peraturan yang jelas dengan lelang energi terbarukan yang efektif dan mekanisme feed in tariff (FiT) yang berfungsi dengan baik.
Dua rekomendasi lain yang terkait regulasi dan hukum yaitu mengembangkan solusi untuk menciptakan pasar energi terbarukan yang terdistribusi seperti membuat mekanisme remunerasi yang menarik bagi konsumen, memungkinkan partisipasi investor swasta di pasar mini dan off-grid.
Selanjutnya, pemerintah juga harus mengatasi hambatan regulasi dan pasar dalam PPA, seperti meninjau syarat dan ketentuan PPA energi terbarukan saat ini demi mengatasi kekhawatiran investor.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News