Reporter: Handoyo | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Eksportir mutiara akan menghadapi tantangan baru untuk meningkatkan kualitas produknya. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menerbitkan standar mutu bagi mutiara kelas ekspor.
Menteri KKP Fadel Muhammad mengatakan, berlakunya Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk mutiara adalah untuk memperbaiki kualitas mutiara dalam negeri. "Selama ini, di negara kita belum ada standar mengenai kualitas mutiara, kini saatnya untuk menata kembali," ujar Fadel, kemarin (12/10).
Victor P.H. Nikijuluw, Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Kementrian Kelautan dan Perikanan menjelaskan, SNI juga akan melindungi pengusaha lokal dari serbuan mutiara luar yang masuk ke dalam negeri. Pasalnya, SNI juga akan mewajibkan registrasi dan sertifikasi produk.
Mutiara yang tak memenuhi SNI itu tidak boleh masuk pasar ekspor. "Makanya ini sangat berat. Untuk ekspor atau impor ada grade tertentu," imbuhnya.
KKP seharusnya meneken aturan SNI itu kemarin. Namun, penandatanganan diundur karena KKP masih bernegosiasi dengan Asosiasi Budidaya Mutiara Indonesia (ASBUMI).
Maklum, ASBUMI yang terdiri dari 28 perusahaan pembudidaya mutiara menilai SNI akan berdampak pada ekspor mutiara. "Saya harap pemerintah tidak terlalu ketat memberlakukan standar untuk saat ini," kata Anthony Tanios, Ketua ASBUMI.
Ia was-was, jika standar SNI dijalankan dengan ketat para pembudidaya mutiara kecil akan kewalahan memenuhinya. Sebab, sejauh ini kualitas mutiara dari pembudidaya kecil masih rendah. "Kalau kualitas kita kalah dengan pembudidaya asal Australia," ujar Anthony.
Tak hanya itu, ia meminta spesifikasi SNI tidak terlalu berat karena mutiara tidak bisa diproduksi secara masal dan sangat bergantung dengan produksi alam.
Data berbeda
Menurut data KKP, produksi mutiara nasional pada tahun 2010 mencapai 5,7 ton. Adapun nilai ekspornya waktu itu mencapai US$ 25 juta-US$ 30 juta. Pada tahun ini, KKP menargetkan produksi mutiara akan naik 22,8% menjadi 7 ton. "Kalau melihat potensi yang ada, produksi kita sebenarnya bisa mencapai 20 ton," tuturnya. Produksi tersebut berasal dari 5.000 pengusaha mutiara.
Berbeda dengan angka perhitungan KKP, Anthony menyatakan bahwa tahun 2010 lalu, volume produksi mutiara yang resmi tercatat di ASBUMI hanya sebesar 3 ton hingga 4 ton.
Menurut dia, ASBUMI menargetkan volume produksi mutiara tahun ini cuma sebanyak 5 ton. Jumlah ini jauh lebih kecil daripada target KKP yang 20 juta ton. "Realistisnya sebanyak itu," kata Anthony. Ia mengaku pesimistis dengan target pemerintah, apalagi kalau SNI mutiara sudah mulai berjalan.
Di luar perbedaan data itu, menurut versi KKP, dari sekitar 5 ton produksi mutiara tahun lalu, 95% di antaranya memang untuk pasar ekspor. Kendati begitu, ekspor mutiara Indonesia baru memenuhi kurang dari 10% dari total pasar mutiara di dunia yang senilai US$ 1,5 miliar.
Selama ini, saingan utama produksi mutiara lokal adalah mutiara dari Australia dan China. Anthony menjelaskan, harga mutiara dari Australia mencapai US$ 10.000 per mome (1 mome setara 3,75 gram). Sedangkan mutiara Indonesia hanya separuhnya, yakni US$ 5.000-6.000 per mome. "Karena kebanyakan produksi Australia adalah karang alami," jelas Anthony.
Selain bersaing dengan mutiara Australia di pasar ekspor, mutiara lokal juga mesti bersaing dengan mutiara asal China di pasar lokal. Sebab, mutiara China yang harganya lebih murah kini banyak beredar di tanah air.
Jenis mutiara China tersebut adalah fresh water atau mutiara air tawar. Sedang mutiara yang diproduksi pembudidaya lokal berjenis south sea pearl (SSP).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News