Reporter: Gentur Putro Jati | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan Harga Patokan Tertinggi (HPT) Panas Bumi sebesar US$ 8,6 sen per kWh. Angka tersebut sudah dicantumkan dalam Rancangan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Penetapan HPT Panas Bumi yang akan diterbitkan pemerintah.
Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE) Departemen ESDM Jacobus Purwono bilang saat ini posisi bakal beleid tersebut berada di kantor Menko Perekonomian untuk dibahas oleh tim interdepth pemerintah.
Hal itu, termasuk melakukan penyesuaian redaksional atas rancangan Keppres tersebut. "Angkanya sudah disetujui Menteri ESDM. Pihak PLN maupun pengembang juga sudah menyepakati angka itu," kata Purwono kepada KONTAN, Senin (28/9).
Menurut Purwono, jika rancangan Keppres tersebut sudah disetujui tim di kantor Menko selanjutnya akan diserahkan ke Sekretaris Negara untuk segera diterbitkan. "Kalau Keppres sudah selesai kita bisa mulai tender wilayah panas bumi," tambahnya.
Direktur Utama PT PLN (Persero) Fahmi Mochtar mengaku tidak keberatan dengan HPT tersebut. Menurutnya, HPT yang disepakati sebesar US$ 8,6 sen per kWh adalah patokan harga tertinggi yang harus dibayarkan PLN kepada perusahaan pengembang listrik panas bumi.
"HPT sebesar US$ 8,6 sen itu harga batas atas. Tapi, harga per pembangkitnya kan bisa berubah, karena setiap lapangan sangat spesifik. Karena itu batas atas, maka tidak terlalu masalah bagi kami," katanya.
Sebelumnya, PLN mengusulkan HPT US$ 7,6 sen untuk setiap kWh listrik yang dibelinya dari pengembang. Namun, angka tersebut ditolak Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) yang menyebut perusahaan anggotanya tentu akan menolak mengikuti lelang panas bumi yang digelar Pemerintah Daerah jika HPT tersebut digunakan.
Belakangan, Direktorat Jenderal LPE mempertemukan kedua pihak tersebut untuk menyatukan besaran HPT yang disetujui kedua belah pihak.
Ketua Umum API Suryadarma mengaku masih keberatan dengan angka US$ 8,6 sen per kWh. "Bagi API, kami mendukung harga yang bisa mendapatkan kepastian pengembalian investasi yang menarik sesuai dengan skala keekonomian. Angka yang kami usulkan justru diatas itu, tapi lebih baik kita tunggu saja sampai Keppresnya diterbitkan," kata Suryadarma.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News