Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan untuk menunda rencana moratorium pembangunan smelter nikel berbasis teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF).
Keputusan ini diambil meskipun banyak pihak yang menyuarakan kekhawatiran terkait potensi oversupply di pasar global yang dapat menyebabkan penurunan harga feronikel.
Dewan Penasihat Pertambangan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Djoko Widajatno mengatakan, langkah pemerintah ini didasari oleh berbagai alasan strategis. Pertama, peningkatan nilai tambah.
Dengan mengolah nikel dalam negeri, Indonesia dapat menghasilkan produk bernilai tinggi seperti feronikel, dibandingkan ekspor bahan mentah. Ini diharapkan meningkatkan pendapatan negara dan memperkuat sektor industri.
Baca Juga: Harga Nikel Dunia Diprediksi Sulit Menanjak di 2025, Sejumlah Emiten Siapkan Strategi
Kedua, penciptaan lapangan kerja. Pembangunan smelter berbasis RKEF menciptakan peluang kerja, baik di tahap konstruksi maupun operasional, khususnya di daerah tempat smelter dibangun.
“Ketiga, dukungan pada industri kendaraan listrik. Sebagai produsen nikel terbesar dunia, Indonesia berupaya memperkuat posisinya dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik global. Pembangunan smelter RKEF berperan penting dalam mendukung transformasi menuju teknologi hijau,” kata Djoko kepada Kontan, Minggu (8/12).
Djoko melanjutkan, alasan strategis keempat adalah diversifikasi dan daya saing global. Pemerintah ingin mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah dan meningkatkan daya saing produk olahan nikel di pasar internasional dengan biaya produksi yang lebih rendah.
Kelima, kebijakan larangan ekspor ore nikel. Larangan ekspor bijih nikel sejak 2020 bertujuan untuk mendorong hilirisasi dalam negeri. Smelter berbasis RKEF menjadi salah satu alat utama untuk mendukung kebijakan ini.
Baca Juga: Tanpa Gembar-Gembor, Perusahaan Batubara Grup Harita Berhasil Gelar Hilirisasi
Djoko menambahkan, APNI mendukung langkah pemerintah, namun menegaskan pentingnya masukan dari berbagai pihak untuk memastikan hilirisasi nikel dapat berjalan optimal tanpa mengorbankan keberlanjutan sumber daya dan stabilitas pasar global.
Keputusan pemerintah ini menjadi bagian dari strategi besar transformasi ekonomi Indonesia menuju industri bernilai tambah tinggi.
Kekhawatiran Oversupply
Namun, beberapa pihak mengingatkan potensi dampak negatif dari langkah ini. Ketua Indonesia Mining & Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo, menilai bahwa moratorium smelter nikel perlu dikaji ulang, terutama terkait dengan cadangan nikel terbatas.
Dengan cadangan nikel sebesar 5,2 miliar ton dan produksi tahunan yang direncanakan mencapai 240 juta ton, umur cadangan perlu dioptimalkan untuk memastikan keberlanjutan industri berbasis nikel di masa depan.
Selain itu, Singgih menyebut potensi penurunan harga global. Jika kapasitas produksi melebihi permintaan, harga feronikel di pasar global dapat tertekan akibat kelebihan pasokan. Ini bisa merugikan produsen nikel dalam negeri.
Penundaan moratorium ini, menurut Singgih, harus diiringi dengan evaluasi komprehensif, mulai dari eksplorasi hingga pembangunan industri pengolahan nikel. Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian perlu bekerja sama untuk memastikan pembangunan smelter sesuai dengan kebutuhan industri masa depan.
“Selain itu, eksplorasi nikel dan logam lain harus didorong untuk memperpanjang umur cadangan serta menyesuaikan arah pengembangan dengan peta kebutuhan industri nasional,” kata Singgih kepada Kontan, Minggu (8/12).
Sebelumnya, permintaan moratorium atau penangguhan terhadap pengolahan dan permurnian (smelter) nikel melalui Rotary Klin Electric Furnace (RKEF) kembali mencuat.
Permintaan ini diungkap oleh Holding BUMN Pertambangan, Mining Industry Indonesia (MIND ID) kepada Komisi XII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan alasan untuk mencegah keadaan oversupply dari produk turunan smelter RKEF seperti feronikel dan Nickel pig iron (NPI).
Baca Juga: Tujuh Proyek Smelter Bauksit Masih Mangkrak
"Karena kalau oversupply seperti yang sudah terjadi pada ferronickel, harganya jatuh. Sekarang harga ferronickel itu hampir tidak bisa menutup biaya produksi," kata Direktur Utama MIND ID, Hendi Prio Santoso dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XII DPR, Rabu (4/12).
Permintaan moratorium ini bukan pertama kali terjadi, berdasarkan catatan Kontan, pada awal Agustus 2024 lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah berjanji untuk tidak lagi memberikan izin investasi baru untuk smelter RKEF.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News