Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha tambang mineral dan batubara meminta pemerintah agar tidak terburu-buru dalam mengesahkan aturan mengenai kenaikan royalti mineral dan batubara (minerba). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memberikan sinyal aturan ini bakal terbit sebelum Lebaran.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tri Winarno mengakui pihaknya telah menerima surat keberatan yang diajukan oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI).
Hanya saja, saat ini Revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2022 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang berlaku di lingkungan Kementerian ESDM sudah berada di Kementerian Sekretaris Negara dan bakal segera disahkan.
Tri memberikan sinyal aturan kenaikan royalti minerba bakal terbit sebelum Lebaran. "Ini tanggal berapa sih? Mungkin ya (sebelum lebaran)," kata Tri ditemui usai Mining Forum 2025 di Jakarta, Selasa (18/3).
Baca Juga: IMA Minta Penundaan Kenaikan Tarif Royalti Minerba, Ini Pertimbangannya
Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia berharap pemerintah tidak terburu-buru mengesahkan aturan kenaikan royalti minerba. Menurutnya, sebaiknya aturan ini kembali dibahas dengan pelaku usaha karena dampaknya sangat signifikan terhadap kelangsungan kegiatan usaha dan investasi di sektor minerba.
"Selain itu juga bisa berdampak terhadap pengembangan hilirisasi. Eksplorasi juga terkendala padahal eksplorasi sangat penting untuk jaminan pasokan jangka panjang dalam mendukung hilirisasi," kata Hendra kepada Kontan, Rabu (19/3).
Dewan Penasihat Pertambangan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Djoko Widajatno mengungkapkan bahwa APNI sudah menyampaikan keberatan kepada pemerintah dengan dukungan data dari anggota APNI. Namun, keputusan poemerintah akan tetap dihormati.
"Anggota APNI sudah mengajukan permohonan untuk menunda kenaikan royalti," kata Djoko kepada Kontan, Rabu (19/3).
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi Mineral dan Batu bara Indonesia (Aspebindo) Fathul Nugroho mengungkapkan bahwa Aspebindo memahami itu adalah hak Pemerintah, karena mining rights ada pada Pemerintah.
Namun, Aspebindo berharap kenaikan tarif PNBP tersebut tetap memperhatikan aspirasi perusahaan pertambangan minerba yang mengajukan tarif royalti tidak sampai 2 kali lipat dari sebelumnya.
"Kenaikan royalti yang tinggi berisiko meningkatkan biaya operasional secara signifikan," kata Fathul kepada Kontan, Rabu (19/3).
Menurut Fathul, hal tersebut bukan hanya membebani pengusaha, tetapi juga bisa berdampak pada penurunan daya saing industri minerba Indonesia secara global.
Aspebindo berharap kenaikan royalti yang akan segera ditetapkan besarannya tetap memenuhi keekonomian usaha, dengan demikian perusahaan tambang baik batubara maupun mineral masih dapat terus beroperasi dengan margin yang cukup di tengah kondisi ekonomi global saat ini yang sedang tidak menentu.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno memastikan pemerintah telah melakukan evaluasi menyeluruh sebelum menerapkan kebijakan ini.
“Yakinlah bahwa pemerintah tidak akan membunuh industri pertambangan ini. Karena memang industri pertambangan sangat diperlukan, terutama dalam kaitannya dengan hilirisasi yang mendukung akselerasi ekonomi di Indonesia,” kata Tri dalam Mining Forum, Selasa (18/3).
Baca Juga: IMA Ungkap 3 Poin Penting Terkait Wacana Kenaikan Tarif Royalti Minerba
Tri menuturkan, kenaikan royalti untuk batubara tidak akan terlalu membebani industri. Menurutnya, pemerintah selalu meninjau laporan keuangan perusahaan sebelum mengambil keputusan terkait kenaikan royalti untuk memastikan keseimbangan antara penerimaan negara dan keberlanjutan bisnis perusahaan tambang.
“Kalau misalnya kita menaikkan royalti ini untuk batubara, saya rasa tidak terlalu berat. Untuk mineral, mungkin terasa lebih berat, tetapi sebenarnya tidak juga. Artinya, pemerintah sebelum melakukan kenaikan pasti melakukan evaluasi terhadap laporan keuangan perusahaan,” jelasnya.
Tri juga mengungkapkan kebijakan royalti di sektor pertambangan telah mengalami perubahan sejak era Orde Baru. Ia menyinggung sejarah penentuan besaran royalti untuk perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) generasi pertama.
“Dulu, pada masa Pak Sutaryo Sigit sebagai Dirjen Minerba—saat itu masih disebut Dirjen PU—PKP2B generasi pertama meminta royalti sebesar 9%. Sementara itu, pemerintah ingin menetapkan 18%. Karena lama sekali tidak mencapai kesepakatan, mereka menghadap Pak Harto. Pak Harto menyampaikan ya sudah 18 ditambah 9 dibagi 2 saja, keluarlah 13,5%,” paparnya.
Baca Juga: Pebisnis Keberatan, Kenaikan Tarif Royalti Minerba Dinilai Memberatkan Industri
Selanjutnya: Berpotensi Bergerak Sideways, Ini Penggerak Rupiah Besok Kamis (20/3)
Menarik Dibaca: Halodoc: 5 Layanan Kesehatan Paling Dicari Selama Ramadan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News