Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Punya prospek positif, nyatanya pemanfaatan solar panel dan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) masih dihadapkan pada berbagai tantangan.
Ketua Dewan Pembina Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Andhika Prastawa menungkapkan, tren pemanfaatan tenaga surya masih akan terus berlanjut, walaupun belum bisa disebut masif. Hal tersebut lantaran masih terbatasnya pemanfaatan pada sektor tertentu seperti industri besar, gedung komersial, dan perumahan besar.
"Beberapa perbaikan pada Permen 49/2018 dan revisi-revisinya juga masih diperlukan, antara lain pada perbaikan nilai tukar ekspor impor, dan kepastian dan efisiensi perizinan," kata Andhika kepada Kontan, Kamis (22/4).
Sebagai informasi, Permen ESDM Nomor 49/2018 mengatur tentang penggunaan sistem pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap oleh konsumen PLN. Salah satunya terkait penghitungan ekspor dan impor energi listrik dari sistem PLTS Atap. Pasal 6 Ayat (1) menyebutkan, penghitungan energi listrik pelanggan PLTS atap yang diekspor dihitung berdasarkan nilai kWh ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikalikan 65% atau 0,65. Idealnya, perhitungan dikalikan 100% atau 1.
Baca Juga: Permintaan solar panel meningkat, begini prospeknya di Indonesia
Sementara itu, Andhika menilai kebutuhan panel surya Tanah Air sejauh ini belum terlalu banyak. Dimana, pemanfaatan atau konsumsi proyek pemerintah, BUMN, maupun sektor swasta untuk listrik surya atap, diperkirakan berkisar 30 Megawatt peak (MWp) per tahun. "Ini cenderung stagnan. Kebutuhan tersebut sebagian masih impor, walaupun produk dalam negeri juga tersedia," ungkapnya.
Sementara itu, kabar terkait rencana PT LEN Industri untuk membangun pabrik solar panel dengan perusahaan China, dipandang baru sebatas membangun industri manufaktur sel surya, sebagai bahan baku industri panel surya. PT LEN sendiri sudah memiliki pabrik panel surya dengan kapasitas lebih dari 50 MWp per tahun.
"Dengan perubahan Permen, dan bila RaPerpres tarif listrik EBT sudah diterbitkan, saya lihat prospek industri (panel surya) tersebut cukup cerah," ungkapnya.
Di samping itu, Andhika menilai masih terdapat beberapa tantangan industri dalam meningkatkan pemanfaatan solar panel di Tanah Air. Pertama adalah peraturan yang masih harus disempurnakan dalam hal perizinan.
Selain itu, dia juga memandang perlunya ketersediaan pendanaan yang terjangkau sehingga mampu mengurangi beban investasi awal pengguna. Apalagi, untuk daerah yang belum terjangkau listrik, tarif untuk listrik PLTS dianggap masih relatif mahal karena harus dilengkapi batere.
"Harapannya, peraturan dan kebijakan semakin berpihak ke pengguna solar panel, semakin banyak lembaga keuangan yang membiayai pembelian PLTS. Sedangkan untuk daerah belum berlistrik, subsidi untuk pembelian PLTS, akan sangat membantu khususnya pelistrikan desa," ujarnya.