Sumber: Kontan | Editor: Test Test
JAKARTA. Seiring dengan kebijakan pemerintah mengganti pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) atas minuman beralkohol dengan cukai mulai 1 April 2010 mendatang, pengusaha minuman keras (miras) meminta pemerintah mengubah sistem pengenaan beban terhadap miras. Saat ini sistemnya didasarkan atas prosentase dari harga minuman. (Kontan 17/3/2010)
Ketua Umum Gabungan Industri Minuman Malt Indonesia (GIMMI) Ipung Nimpuno menyarankan, sistem pengenaan cukai terhadap minuman keras diganti dengan sistem yang berlaku di sejumlah negara. Seperti di negara tetangga Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Negara-negara tersebut mengenakan pajak berdasarkan kandungan kadar alkohol. Semakin tinggi tingkat alkoholnya, semakin besar cukainya, begitu pula sebaliknya.
"Menurut saya tidak masuk akal, sebotol minuman keras yang kandungan alkoholnya 40% dijual dengan harga Rp 14.000, bagaimana menghitungnnya itu, padahal menurut saya harga yang lazim ya sekitar Rp 50.000," papar Ipung.
Selain itu, imbuh Ipung, besaran kutipan cukai sebaiknya tidak jauh berbeda dengan negara tetangga. Ini untuk menghindari impor miras ilegal. Maklum, saat ini cukup banyak minuman beralkohol ilegal yang beredar di pasar lokal.
"Bisa dilihat, industri bir (tingkat alkohol di bawah 5%) yang pangsa pasarnya 34% saja kontribusinya mencapai 84% dari penerimaan pemerintah dari minuman beralkohol, tapi minuman jenis lain dengan kadar alkohol lebih dari itu dengan pangsa pasar 66% kontribusinya hanya 16%, ini tidak masuk akal," papar Ipung.
Sementara itu, menurut Wine Director Decanter Wine House Yohan Handoyo, bisa dipastikan bahwa harga miras tidak akan turun selama masih banyak pungutan-pungutan yang tidak jelas terkait aktivitas bea cukai.
Yohan mencontohkan, ada yang namanya biaya notul yang tarifnya tidak berdasar. Minggu pertama barang datang tidak dikenakan tarif notul itu, "Tetapi di minggu ke dua kita disuruh bayar, dan itu tidak ada penjelasan dari petugas berapa biaya wajarnya, seenaknya aja nyebut angka," ujar Yohan.
Toh sebagai pelaku usaha di bisnis ini, Yohan tetap tertarik mengimpor air api setelah impor miras dibuka untuk perusahaan-perusahaan selain PT Sarinah dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). "Tetapi saya lihat persyaratannya dulu," paparnya.
Agar fair, pemerintah memperketat persyaratan impor sehingga rantai birokrasi akan semakin panjang. "Rantai birokrasi panjang tidak masalah, asal jangan rantai distribusi yang mengambil margin di setiap posnya yang semakin panjang," ujar Yohan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News