Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha yang bergerak di industri produk minuman menyambut penundaan pungutan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK). Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan bahwa pungutan cukai MBDK baru akan diberlakukan pemerintah ketika pertumbuhan ekonomi di atas 6%.
Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) Triyono Prijosoesilo menyambut baik penundaan cukai MBDK. Asrim melihat kebijakan ini dari dua sisi. Pertama, secara momentum, Triyono mengungkapkan saat ini kinerja industri Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) untuk produk minuman masih dalam kondisi tertekan.
Dari sisi volume penjualan, tingkat pertumbuhan industri minuman sampai dengan kuartal III-2025 hanya menyentuh 1,8%. Triyono bilang, pertumbuhan dengan level konservatif itu hanya ditopang oleh kategori produk Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), yang mencapai pertumbuhan sekitar 2,4%.
Sementara kategori lainnya sedang berada dalam tren menurun. "Kategori minuman siap saji lainnya masih mengalami pertumbuhan negatif sampai dengan kuartal ketiga, sehingga penundaan wacana cukai MBDK tepat," kata Triyono kepada Kontan.co.id, Senin (15/12/2025).
Baca Juga: Antam (ANTM) Optimistis Dapat Perkuat Pasokan Bahan Baku Emas dari Dalam Negeri
Kedua, Triyono menilai pungutan cukai MBDK tidak secara signifikan berdampak terhadap pengelolaan risiko Penyakit Tidak Menular (PTM). Menurut Triyono, studi menunjukkan bahwa MBDK hanya berkontribusi sekitar 6,5% dari total konsumsi kalori per kapita masyarakat Indonesia.
"Pemerintah perlu jujur melihat bahwa sumber risiko terbesar PTM bukan di produk minuman berpemanis, sehingga perlu kebijakan yang lebih tepat sasaran," ungkap Triyono.
Dengan asumsi tersebut, Triyono justru melihat pengenaan cukai MBDK akan membawa dampak negatif dari dua aspek. Pertama, akan menurunkan kinerja industri. Hal ini bakal menambah tekanan terhadap daya serap tenaga kerja, sekaligus berpotensi mendorong deindustralisasi, terutama di sektor makanan & minuman.
Kedua, sekalipun ada cukai MBDK, prevalensi PTM tidak akan mengalami penurunan.
"Apabila diharapkan penerapan cukai akan menaikkan harga jual produk MBDK, sehingga menurunkan penjualannya dan akan dapat menurunkan tingkat PTM, maka kebijakan tersebut pasti akan gagal," ungkap Triyono.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman menyoroti hal yang sama, dengan menilai bahwa pungutan cukai MBDK kurang tepat sebagai instrumen untuk mengatasi PTM.
Menurut Adhi, pemerintah bersama pelaku industri perlu mengedepankan edukasi untuk mendorong kesadaran konsumen, sembari mengembangkan inovasi untuk memproduksi dan memasarkan produk yang lebih rendah pemanis.
"Perlu edukasi ke konsumen, dan kami siap berkolaborasi dengan Pemerintah untuk Gerakan Edukasi Nasional. Produsen juga terus berupaya reformulasi untuk menurunkan kadar gula dalam produk. Ini juga mengedukasi dan melatih kebiasaan makan-minum, melatih lidah untuk beradaptasi secara gradual," kata Adhi.
Adhi memandang outlook industri makanan dan minuman masih cukup optimistis, meski tetap dalam mode waspada. Ancaman bisa kembali datang dari faktor geo-politik dan perubahan iklim, yang dapat memengaruhi harga bahan baku, rantai pasok barang atau logistik, serta ketersediaan dan harga energi.
Baca Juga: Menperin Ungkap Strategi Pacu TKDN di e-Katalog, Singgung Tantangan dari Mafia Impor
Di tengah tantangan tersebut, Adhi mengatakan bahwa pengenaan cukai bisa menggerus daya saing produk industri. "Daya saing produk akan semakin jelek, sementara PTM tidak teratasi," tandas Adhi.
Selanjutnya: Korporasi Kembali Injak Rem Utang Luar Negeri
Menarik Dibaca: Spesial HUT BRI ke-130: Promo Niku Udon Marugame Cuma Rp 13.000 Khusus 16 Desember
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













