Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana pemerintah menyusun lagi tarif royalti batubara bagi perusahaan pemegang izin usaha pertambangan khusus (IUPK) kelanjutan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) perlu mempertimbangkan beberapa hal. Khususnya, terkait memutuskan besaran royalti.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Rizal Kasli memaparkan beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan, seperti dampak royalti bagi pendapatan negara baik pajak maupun non pajak. Selain itu, tingkat serapan tenaga kerja, prospek pertumbuhan ekonomi nasional maupun regional, pertumbuhan industri nasional, current account deficit (CAD), pemenuhan kebutuhan dalam negeri dan daya saing global juga perlu menjadi pertimbangan.
Dia mencontohkan, khusus perusahaan yang melakukan hilirisasi batubara akan diberikan penurunan tarif royalti sampai 0%. Artinya untuk penambang biasa, tarif royalti normal tetap berlaku. Ia bilang, hilirisasi dibutuhkan investasi yang besar dan biaya produksi yang lumayan besar dimana batubara menjadi salah satu unsur biaya (input costs). Kelayakan investasi sangat tergantung dari margin yang diperoleh, sehingga saat royalti bisa turun hingga 0% itu akan berpengaruh signifikan terhadap kelayakan investasi perusahaan tambang tersebut.
Hal lain yang harus mendapatkan perhatian soal pertimbangan royalti PKP2B sebesar 13,5% karena adanya bagian dana penelitian dan pengembangan batubara sebesar 6,5%. Dana tersebut seharusnya digunakan untuk membangun industri batubara baik berupa penelitian maupun pengembangannya.
"Perhapi mengusulkan konsep natural resources fund (NRF) sejenis sovereign wealth fund (SWF) untuk ekonomi yang berkelanjutan (sustainable)," ujar Rizal kepada Kontan.co.id, Rabu (17/3).
Baca Juga: Kenaikan tarif royalti bagi IUPK bakal berdampak ke produksi dan hilirisasi batubara
Dengan begitu, dana tersebut dapat digunakan untuk penelitian dan pengembangan batubara termasuk hilirisasi batubara dan pengembangan ekonomi wilayah yang sustainable terutama untuk daerah penghasil tambang.
Selain itu, dana tersebut tidak dimasukkan ke APBN seperti sekarang ini, melainkan disalurkan kepada lembaga SWF yang dibentuk oleh pemerintah untuk maksud tersebut di atas. Lembaga tersebut diawasi secara ketat oleh badan pengawas.
"Perlakuannya sama seperti yang telah dilakukan pemerintah dengan pembentukan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang merupakan pengelola dana SWF," tambah Rizal.
Sementara itu, terkait adanya dua pemegang PKP2B yang sudah habis masa berlakunya tahun ini, yakni PT Kendilo dan PT Kaltim Prima Coal (KPC), Rizal menilai perlakuan pemerintah akan sama seperti perlakuan terhadap PT Arutmin Indonesia. Yakni, pemerintah kemungkinan akan tetap memperpanjang izinnya menjadi IUPK dengan biaya royalti yang lebih tinggi dan adanya pengurangan wilayah konsesi.
"Pemungutan royalti tersebut sudah benar seperti yang dilakukan saat ini, saat batubara dijual baik untuk domestik maupun ekspor," jelas Rizal.
Sebagai informasi, saat ini royalti batubara yang masih berlaku dan merupakan salah satu penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang penerapannya tidak sama kepada perusahaan pemegang izin, tergantung kepada jenis pemegang izin pengusahaan batubara. Pemegang izin pengusahaan batubara terdiri dari PKP2B Generasi I-III dan IUP Batubara.
Adapun untuk pemegang PKP2B Generasi I-III dikenakan biaya royalti sebesar 13,5% dari harga jual batubara setelah dikurangi biaya marketing atau penjualan. Sementara pemegang IUP diberlakukan berjenjang royaltinya dari mulai 7%, 5% dan 3% dari harga penjualan berdasarkan kualitas batubara.
Sesuai UU Minerba Nomor 3/2020 yang merupakan revisi dari UU Nomor 4/2019 ditetapkan untuk IUPK hasil perpanjangan PKP2B salah satunya ditentukan harus ada peningkatan pendapatan negara. Namun, pengaturan lebih lanjut terkait itu masih ditunggu. Meskipun begitu, Rizal meyakini, kalau itu akan memberikan kepastian dalam berusaha di sektor batubara.
"Kami belum mendapatkan informasi kapan aturan PMK tersebut akan turun dan berapa tarif yang akan diberlakukan," kata Rizal.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengingatkan, besaran tarif royalti jangan sampai memberatkan perusahaan batubara. Apalagi, pengenaan royalti diperuntukkan pada perusahaan-perusahaan yang memiliki tambang tua.
"Royalti tambang kita dibandingkan negara lain terbukti sudah tinggi, sehingga jangan terlalu memberatkan dan harus sesuai batas kemampuan perusahaan," kata Hendra kepada Kontan.co.id, Rabu (19/3).
Ada sejumlah karakteristik yang perlu diperhatikan. Pertama, lokasi sebaran cadangan batubara mulai terbatas, sehingga makin sulit memilih lokasi penambangan yang ekonomis.
Kedua, letak cadangan batubara yang lebih dalam dan lebih jauh, sehingga semakin lama akan semakin besar biaya untuk mengambil batubara. Ketiga, letak lokasi pembuangan lapisan tanah penutup juga semakin jauh, sehingga perlu mengeluarkan biaya yang makin besar agar bisa menyingkap lapisan batubara.
Selanjutnya: Begini respon APBI terkait kenaikan tarif royalti bagi IUPK
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News