Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertamina Patra Niaga mengklaim penggunaan etanol dalam Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan best practice yang telah diterapkan secara internasional. Langkah ini sejalan dengan upaya global untuk menekan emisi karbon, meningkatkan kualitas udara, sekaligus mendukung transisi energi yang berkelanjutan.
Pj. Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Roberth MV Dumatubun mengungkapkan, penggunaan etanol dalam BBM bukan hal baru, melainkan praktik yang sudah mapan secara global.
"Implementasi ini terbukti berhasil mengurangi emisi gas buang, menekan ketergantungan pada bahan bakar fosil murni, serta mendukung peningkatan perekonomian masyarakat lokal melalui pemanfaatan bahan baku pertanian,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (3/10).
Menurut Roberth, kehadiran BBM dengan campuran etanol menjadi bukti nyata bahwa Indonesia siap mengikuti praktik terbaik internasional demi masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Baca Juga: Sejumlah Biro Travel dari Asphuri Kembalikan Uang ke KPK Terkait Kasus Kuota Haji
Berdasarkan catatan KONTAN, rencana penjualan bahan bakar minyak (BBM) Pertamina Patra Niaga kepada jaringan SPBU swasta mandek, salah satunya dikarenakan terdapat kandungan etanol sebesar 3,5%.
Padahal, Pertamina sudah menyiapkan pasokan sebesar 100.000 barel untuk memenuhi kebutuhan distribusi swasta. Bahkan, Vivo sempat sepakat membeli 40.000 barel base fuel pada 26 September 2025. Namun, kesepakatan itu tiba-tiba dibatalkan.
“Vivo membatalkan untuk melanjutkan. Setelah setuju [membeli] 40.000 barel, akhirnya tidak disepakati,” kata Wakil Direktur Utama Pertamina Patra Niaga, Achmad Muchtasyar, dalam rapat dengan Komisi XII DPR RI, Rabu (1/10).
Achmad menjelaskan, pembatalan tersebut bukan karena kualitas produk, melainkan faktor kandungan. Hasil uji laboratorium pada kargo MT Sakura dengan volume 100.000 barel RON 92 menunjukkan adanya etanol sebesar 3,5%.
Kandungan itu sejatinya masih aman, karena pemerintah mengizinkan hingga 20%. Namun, Vivo dan Aneka Petroindo Raya (APR) yang merupakan joint venture antara BP dan AKR Corporindo Tbk, memilih mundur lantaran komposisi tersebut tidak sesuai dengan spesifikasi produk mereka.
Untuk diketahui, etanol berasal dari tumbuhan seperti tebu atau jagung, sehingga lebih ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar fosil murni. Dengan mencampurkan etanol ke dalam BBM, emisi gas buang kendaraan bisa berkurang sehingga kualitas udara lebih baik.
Penggunaan etanol dalam BBM terbukti menjadi standar di banyak negara, di antaranya, Amerika Serikat melalui program Renewable Fuel Standard (RFS), telah mewajibkan pencampuran etanol ke dalam bensin dengan kadar umum E10 (10% etanol) dan E85 untuk kendaraan fleksibel.
Brasil menjadi pelopor penggunaan etanol berbasis tebu, dengan implementasi skala nasional hingga mencapai campuran E27 (27% etanol) pada bensin, sehingga membuat Brasil dikenal sebagai salah satu negara dengan kendaraan berbahan bakar etanol terbesar di dunia, dan masyarakatnya sudah terbiasa mengisi BBM dengan etanol sejak puluhan tahun lalu.
Uni Eropa juga mengadopsi campuran etanol dalam BBM melalui kebijakan Renewable Energy Directive (RED II), dengan target bauran energi terbarukan di sektor transportasi.
Campuran E10 kini telah menjadi standar di banyak negara Eropa seperti Prancis, Jerman, dan Inggris, sebagai standar untuk mengurangi polusi udara.
Asia pun mulai mengadopsi kebijakan serupa, dengan India mendorong program etanol blending hingga 20% (E20) pada 2030 sebagai bagian dari roadmap menuju transportasi rendah karbon serta mendukung petani tebu.
Baca Juga: Akulaku Finance: Bisnis Paylater Berpotensi Jadi Sumber Pertumbuhan Baru Multifinance
Selanjutnya: BEI Suspensi Saham VKTR, ESTA, SOFA Mulai Jumat (3/10)
Menarik Dibaca: Katalog Promo JSM Alfamart Periode 3-5 Oktober 2025, Aneka Detergent Mulai Rp 9.900
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News