Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia dan Singapura sepakat memperkuat kolaborasi di sektor energi hijau dengan menandatangani sejumlah nota kesepahaman (MoU), salah satunya pengembangan kawasan industri hijau di Kepulauan Riau.
Kerja sama energi ini dituangkan dalam tiga MoU yaitu MoU Zona Industri Berkelanjutan (Sustainable Industrial Zone/SIZ); MoU Interkoneksi dan Perdagangan Listrik Lintas Batas, Teknologi Energi Terbarukan dan Rendah Karbon, serta Efisiensi dan Konservasi Energi; dan MoU Kerja Sama Penangkapan dan Penyimpanan Karbon Lintas Batas.
MoU tersebut dikukuhkan oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dan Menteri Energi dan Ilmu Pengetahuan & Teknologi Singapura Tan See Leng, disaksikan Presiden RI Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong di Singapura, Senin (16/6).
Baca Juga: Indonesia-Singapura Sepakati Pembangunan Kawasan Industri Hijau Terintegrasi di Kepri
Bahlil mengatakan kerja sama ini sejalan dengan arahan Presiden Prabowo agar Indonesia hanya menerima investasi yang bersifat win-win dan mendukung penguatan rantai pasok energi bersih nasional.
"Kami telah meminta pemerintah Singapura untuk mempertimbangkan secara serius pembangunan kawasan industri yang bertujuan untuk hilirisasi berbasis energi baru terbarukan," kata Bahlil dalam keterangan resmi, Senin (16/6).
Menurut Bahlil, kawasan industri yang akan dibangun di Karimun dan Bintan ini akan terintegrasi dengan ekosistem energi bersih, didukung interkoneksi listrik lintas negara dan teknologi carbon capture and storage (CCS). Total investasi tahap awal ditaksir mencapai US$ 10 miliar. Selain itu, Bahlil memastikan pabrik panel surya dan kabel listrik akan dibangun di Indonesia sebagai bagian dari kesepakatan.
Langkah ini disambut positif oleh pelaku industri. Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang menilai kerja sama ini membuka peluang strategis bagi Indonesia untuk memperkuat posisi di infrastruktur energi Asia Tenggara, sekaligus menyerap tenaga kerja dan investasi baru.
Baca Juga: Indonesia–Singapura Sepakati 19 Kerja Sama Strategis, Ini Rinciannya
Namun, pengamat mengingatkan agar pemerintah berhati-hati. Ekonom senior CORE Indonesia Muhammad Ishak Razak menyebut Indonesia berisiko hanya menjadi lokasi produksi jika tidak hati-hati dalam menyusun kontrak dan skema kerja sama.
“Jangan sampai Indonesia hanya jadi penyedia lahan untuk PLTS Singapura tanpa manfaat optimal. Komponen lokal seperti panel surya, inverter, baterai harus diproduksi dalam negeri agar dampaknya terasa,” ujar Ishak kepada Kontan, Selasa (17/6).
Ia mencontohkan proyek PLTS Cirata yang mayoritas masih mengandalkan komponen impor. Untuk itu, keterlibatan BUMN seperti PLN Indonesia Power dalam penyediaan panel surya perlu didorong.
Lebih lanjut, Ishak juga menekankan pentingnya negosiasi perjanjian jual beli listrik (PPA) yang menguntungkan Indonesia. Harus ada klausul prioritas pemenuhan kebutuhan dalam negeri jika terjadi kekurangan pasokan listrik.
“Jangan ulangi kesalahan kontrak gas jangka panjang seperti di Blok Tangguh yang merugikan Indonesia,” kata dia.
Sementara itu, terkait implementasi teknologi CCS, Ishak mengingatkan agar pemerintah tidak terlalu optimis. Selain biayanya mahal dan payback period yang panjang (15–25 tahun), teknologi ini masih dalam tahap awal secara global dan menyimpan risiko kebocoran.
Baca Juga: Airlangga Minta Singapura Tingkatkan Investasi ke Indonesia Hingga Rp 650,8 Triliun
Selanjutnya: Schneider Electric Luncurkan Pengisi Daya Portabel
Menarik Dibaca: Schneider Electric Luncurkan Pengisi Daya Portabel
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News