Reporter: Dimas Andi | Editor: Yudho Winarto
“Beberapa proyek panas bumi kami saat ini belum bisa ke tahap on stream karena belum sepakat soal PPA-nya,” ungkap dia.
Kedua, isu penyediaan lahan. Isu tersebut terbilang klasik namun sangat penting bagi kelangsungan proyek-proyek EBT. Pasalnya, sudah menjadi fakta bahwa beberapa proyek pembangkit EBT membutuhkan lahan yang luas. Secara teoritis, untuk membangun 1 MW panel surya, maka dibutuhkan 1 hektare (Ha) lahan.
Baca Juga: Dorong transisi ke energi bersih, Pertamina bakal investasi US$ 18 miliar
Pembangkit berbasis panas bumi lebih berat lagi risikonya. Sebab, sebagian sumber panas bumi berada di dalam kawasan yang sulit terjangkau. Bahkan, sebagian di antaranya berada di hutan lindung atau cagar alam sehingga sulit untuk mendapatkan izin eksplorasi.
“Banyak sumber panas bumi yang lokasinya belum punya infrastruktur dasar seperti jalan dan jembatan, sehingga membutuhkan investasi besar dan waktu yang lama,” ujar Ernie.
Ketiga, terdapat isu pendanaan yang timbul akibat proyek-proyek EBT untuk saat ini masih menawarkan imbal hasil yang relatif rendah. Beberapa pengembang EBT pun kerap kesulitan mencari pendanaan lantaran proyeknya kurang bankable.
Untuk itu, Pertamina sebisa mungkin mengambil keuntungan dari program green funding dengan tingkat bunga yang rendah. Pertamina juga mengandalkan kemitraan atau partnership untuk membiayai proyek EBT, termasuk berbagi risiko untuk proyek tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News