Reporter: Dimas Andi | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pertamina (Persero) memiliki ambisi besar dalam pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia. Melalui Subholding Power & New Renewable Energy (NRE), Pertamina berusaha terus meningkatkan portofolio bisnis di sektor EBT.
Director of Strategic Planning & Business Development Pertamina Power Indonesia Ernie D. Ginting menyebut, saat ini mayoritas portofolio bisnis EBT Pertamina berasal dari proyek-proyek panas bumi melalui Pertamina Geothermal Energy (PGE).
Sejauh ini, PGE memiliki kapasitas pembangkit operasional sendiri sebanyak 672 megawatt (MW). PGE juga mengelola kapasitas pembangkit panas bumi sebesar 1.205 MW lewat skema joint operation contract (JOC). Perusahaan ini pun tengah mengawal eksplorasi dan pengembangan proyek panas bumi berkapasitas 495 MW.
Adapun kontribusi kapasitas pembangkit dari Pertamina Power Indonesia (PPI) saat ini mencapai 1.774,15 MW.
Baca Juga: Potensi melimpah, Pertamina berkomitmen terus kembangkan EBT di Indonesia
Rencananya, Pertamina akan terus menambah portofolio bisnis Subholding Power & NRE mencapai 40 gigawatt (GW) hingga tahun 2026 nanti. Dari jumlah tersebut, 10 GW berupa pembangkit listrik energi bersih sedangkan 30 GW berupa pabrik baterai kendaraan listrik dan panel surya.
Adanya peningkatan portofolio EBT tersebut diproyeksikan dapat menambah kontribusi pendapatan Pertamina sebesar US$ 8 miliar. “Untuk mencapai target tersebut dibutuhkan investasi sebanyak US$ 15 miliar hingga 2026,” imbuh Ernie dalam perhelatan Pertamina Energy Webinar, Selasa (8/12).
Sebagai salah satu pelaku usaha, Ernie menilai, ada tiga tantangan utama bagi Pertamina dalam upaya pengembangan EBT di Indonesia.
Pertama, isu komersialisasi. Ernie bilang, saat ini biaya pokok penyediaan (BPP) listrik nasional masih dihubungkan dengan harga batubara yang notabene merupakan energi fosil. Alhasil, sulit bagi pengembang EBT untuk mendapatkan harga listrik dari sumber EBT secara kompetitif.
Lantaran harga yang kurang kompetitif, maka hal itu dapat memperlambat proses negosiasi perjanjian jual beli tenaga listrik atau power purchasing agreement (PPA) antara pengembang EBT dengan pihak PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
“Beberapa proyek panas bumi kami saat ini belum bisa ke tahap on stream karena belum sepakat soal PPA-nya,” ungkap dia.
Kedua, isu penyediaan lahan. Isu tersebut terbilang klasik namun sangat penting bagi kelangsungan proyek-proyek EBT. Pasalnya, sudah menjadi fakta bahwa beberapa proyek pembangkit EBT membutuhkan lahan yang luas. Secara teoritis, untuk membangun 1 MW panel surya, maka dibutuhkan 1 hektare (Ha) lahan.
Baca Juga: Dorong transisi ke energi bersih, Pertamina bakal investasi US$ 18 miliar
Pembangkit berbasis panas bumi lebih berat lagi risikonya. Sebab, sebagian sumber panas bumi berada di dalam kawasan yang sulit terjangkau. Bahkan, sebagian di antaranya berada di hutan lindung atau cagar alam sehingga sulit untuk mendapatkan izin eksplorasi.
“Banyak sumber panas bumi yang lokasinya belum punya infrastruktur dasar seperti jalan dan jembatan, sehingga membutuhkan investasi besar dan waktu yang lama,” ujar Ernie.
Ketiga, terdapat isu pendanaan yang timbul akibat proyek-proyek EBT untuk saat ini masih menawarkan imbal hasil yang relatif rendah. Beberapa pengembang EBT pun kerap kesulitan mencari pendanaan lantaran proyeknya kurang bankable.
Untuk itu, Pertamina sebisa mungkin mengambil keuntungan dari program green funding dengan tingkat bunga yang rendah. Pertamina juga mengandalkan kemitraan atau partnership untuk membiayai proyek EBT, termasuk berbagi risiko untuk proyek tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News