Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja sektor ritel modern melesu pada kuartal II-2023. Berdasarkan catatan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) pertumbuhan sektor ritel di kuartal II sebesar 1,2%. Angka ini menurun jika dibandingkan dengan pertumbuhan di kuartal I yang mencapai 2,6%.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, mengatakan ada beberapa penyebab hal ini bisa terjadi.
Pertama berkaitan dengan pola konsumsi masyarakat yang berubah. Setelah bebas dari Covid-19, pergerakan masyarakat sudah lebih bebas, dan bisa lebih selektif memilih barang-barang yang diperjualbelikan.
Baca Juga: Udara Kota-Kota Besar Tercemar, Penjualan Air Purifier Meningkat
“Terutama untuk produk-produk yang sudah mereka kenali selama masa pandemi, misalnya alat-alat rumah tangga, elektronik, fashion dan sebagian untuk kebutuhan wanita,” kata dia saat dihubungi Kontan, Minggu (20/08).
Ia menambahkan, kebanyakan retail yang masih laku adalah fashion khusus untuk wanita, karena menurut dia, wanita cenderung lebih yakin belanja di tempat retail secara langsung agar bisa melihat keaslian barang, kualitas dan lain-lain.
“Selain fashion wanita, toko sepatu misalnya, ada yang online tapi yang offline masih diminati karena sifatnya lebih customize,” ungkap dia.
Kedua, belum pulih sepenuhnya tingkat konsumsi masyarakat meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II tercatat mencapai 5,17% year on year (YoY).
Baca Juga: Pertumbuhan Ritel Nasional Lesu di Semester I, Begini Kata Aprindo
“Kalau kemarin pertumbuhan ekonomi masih di bawah 5% sekarang sudah di atas 5%. Tapi kalau dilihat yang tumbuh bagian menengah ke atas sekali. Yang menengah ke bawah, kalau melihat dari tingkat konsumsinya belum bergerak signifikan,” jelas dia.
Merosotnya pertumbuhan ritel modern jug dipengaruhi musim atau seasonal, di mana pada bulan Juni-Juli adalah masa masuk sekolah atau tahun ajaran baru.
“Kalau di bulan Juni-Juli ini banyak prioritas orang ke arah kebutuhan anak sekolah. Bayar SPP, baju seragam, buku-buku dan sebagainya. Otomatis belanja akan berputar di bagian itu, jadi kebutuhan retail lain di luar kebutuhan pokok pergerakannya akan relatif terbatas,” jelasnya.
Mengenai perubahan pola konsumsi masyarakat, hal senada juga diungkap Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira.
Perubahan pola konsumsi yang disorot Bhima adalah kecenderungan masyarakat untuk berbelanja kebutuhan leisure atau hiburan dibandingkan membeli makanan dan beli pakaian jadi.
“Ada tren yang terjadi di banyak negara pasca pandemi. Pengeluaran konser musik dan film naik pesat, transportasi juga naik tapi tidak berkorelasi dengan penjualan ritel,” kata dia saat dihubungi Kontan, Minggu (20/08).
Ia menambahkan, ada pula perubahan kebiasaan terutama yang terjadi di kelompok menengah atas. Yaitu jalan-jalan tapi tidak belanja barang, hanya window shopping atau sekedar cari hiburan.
Kemudian, selain pertumbuhan yang menurun, menurut Aprindo ritel modern juga kalah dengan ritel tradisional yang berhasil tumbuh 4,5% year to date (YtD) per semester I-2023.
Baca Juga: Semen Indonesia (SMGR) Raih Peringkat idAA+ dari Pefindo
Mengenai hal ini, Tauhid mengatakan ritel tradisional masih menang dalam urusan harga dan sekarang mulai melakukan sistem down trading atau menjual pada harga rendah untuk mencapai volume tinggi.
“Retail tradisional ini sekarang punya behaviour yang unik, mereka pilih down trading. Yang tadinya mungkin jual ke mall-mall, sekarang mereka mengincar daerah-daerah yang bisa menjangkau pembeli, yang terdekat, yang kecil itu justru dikembangkan,” katanya.
Lalu, untuk memperbaiki kinerja ritel di semester-2 tahun ini, Tauhid menyarankan agar peritel tidak lagi bermain-main dalam memberikan diskon kepada para konsumen.
“Kalau online (e-commerce) lebih sering ada hari belanja nasional dan sebagainya, kalau di ritel lebih jarang. Jadi bener-bener diskon yang dihitung dari harga riil-nya, bukan diskon semu,” ungkap dia.
Baca Juga: IHSG Melemah 0,59% pada Jumat (18/8), Begini Reviewnya dalam Sepekan
“Jadi orang gak ketipu, diskonnya besar tapi semu. Kalau terlalu sering melakukan kamuflase harga, ini membuat orang tidak percaya terhadap harga-harga diskon yang ada di ritel,” tambah dia.
Bhima kemudian menyarankan agar para peritel tidak takut berinovasi contohnya mengadakan acara di mal yang lebih intens.
“Untuk ritel modern yang kehilangan peminat maka renovasi tempat atau fasilitas bisa jadi pilihan. Masyarakat cenderung mencoba tempat baru, atau mal lama tapi sudah di renovasi. Terakhir, banyak berikan diskon yang menarik,” ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News