kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,47   7,12   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perusahaan kopi lokal tertekan pasar global dan konflik keluarga


Selasa, 20 Agustus 2019 / 10:26 WIB
Perusahaan kopi lokal tertekan pasar global dan konflik keluarga
ILUSTRASI. Pertanian kopi di Humbang Hasundutan


Reporter: Eldo Christoffel Rafael | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Boleh dikatakan, Indonesia merupakan surga bagi komoditas kopi. Produksi melimpah, serta permintaan domestik merupakan modal kuat bagi para pemain lokal bertanding dalam skala global yang lebih luas.

Namun demikian, tantangan berat masih dihadapi para pemain kopi lokal tersebut. Kini, mayoritas produsen kopi tengah dinakhodai generasi kedua dari era para pendiri perusahaan.

Baca Juga: Bisnis minuman milik anak Jokowi raih pendanaan US$ 5 juta

Sebut saja kopi merek AAA, yang diproduksi Perusahaan bernama NEFO. Bagi siapapun yang melawat ke Jambi dan sekitarnya, akan banyak menemukan kopi kemasan berlogo AAA yang menyerupai barisan gunung tersebut.

Atau bagi yang baru menemukan kopi khas Jambi itu, sebentar akan terkejut dengan nama perusahaan produsen; NEFO. Mirip-mirip singkatan New Emerging Force (NEFO), yaitu organisasi negara eks jajahan yang digagas Soekarno era lampau.

Sesungguhnya tak ada kaitan keduanya. Kopi merek AAA itu dirintis Bapak Hidayat pada tahun 1965. Sedangkan logo merek AAA, diartikan sebagai harapan Hidayat terhadap ketiga anaknya yang kelak mengembangkan bisnis kopi tersebut.

Namun hingga kini, persebaran kopi merek AAA tidak meluas. Bagi siapapun penikmat kopi merek ini, harus memburunya hingga ke Sumatra.

Beda hal dengan Mayora Group yang telah memperkenalkan merek Torabika secara nasional. Mayora mengklaim telah menguasai 50% penjualan kopi domestik, bersaing ketat dengan Kapal Api Group.

Menurut Pakar Teknologi Pangan Universitas Sahid Giyatmi Irianto, pasar kopi di Indonesia sangat khas, terutama yang merupakan industri skala besar. Dia menyimpulkan, persaingan ketat berlaku pada industri yang telah tumbuh sejak zaman kolonial tersebut.

Dengan kekhasan tersebut, sukar bagi pemain lain bertarung di pasar domestik. Terlebih lagi, konsumen lokal telah lekat dengan merek tertentu.

Baca Juga: East Ventures sudah menyuntik pendanaan ke 15 start up hingga Juli 2019

Keunikan lainnya, jelas Giyatmi, yaitu metode kopi bubuk campur jagung. Metode tersebut, lanjutnya, merupakan hal lumrah di industri pangan apapun, sebagaimana saus tomat bahan ketela singkong dan ubi jalar.

“Sebagai substitusi bahan pangan dengan alasan ketersediaan dan stabilitas suplai bahan baku, ataupun karena persaingan ketat di pasar,” cetus Giyatmi dalam keterangan pers, Selasa (20/8).




TERBARU

[X]
×