Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, jika benar PLN akan merenegosiasikan kontrak PPA, maka fokusnya harus kepada pembangkit berusia tua di atas 15 tahun yang berbasis pada energi thermal. Yakni PLTU Batubara dan Pembangkit listrik gas uap (PLTG/GU).
Dengan mempertimbangkan kondisi penurunan demand saat ini, PLN dinilai bisa meminta adanya penurunan capacity factor (CF) dan tarif listriknya. Menurut Fabby, CF dari pengembang listrik swasta (IPP) biasanya berkisar di angka 80%-85% untuk PLTU dan di bawah 60% untuk PLTGU.
"Dengan tingkat CF di atas 80%, PLN sangat berat menjual listrik dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang negatif seperti sekarang. Apalagi akan ada pembangkit-pembangkit baru yang masuk di akhir tahun ini dan awal tahun depan," terang Fabby.
Baca Juga: Kementerian ESDM targetkan perpres tentang harga listrik EBT bisa terbit Agustus 2020
Menurutnya, PLN bisa merenegosiasikan pembayaran kapasitas (capacity payment) yang mencakup 30%-40% dari total tarif. Dengan penurunan tingkat capacity payment, tarif listrik dan kewajiban yang dibayarkan PLN bisa turun.
Kendati begitu, Fabby mengingatkan bahwa renegosiasi PPA tersebut harus mempertimbangkan sejumlah Hal. Utamanya memperhatikan kondisi sistem kelistrikan setempat, kemampuan penyerapan listrik PLN, dan penghitungan yang wajar dari biaya investasi IPP.
"Renegosiasi tentunya mempertimbangkan kemampuan PLN menyerap listrik dari IPP, dan untuk IPP dihitung ulang biayanya yang wajar karena komponen pengembalian investasi sudah terbayarkan," pungkas Fabby.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News