kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.704.000   -3.000   -0,18%
  • USD/IDR 16.310   25,00   0,15%
  • IDX 6.803   14,96   0,22%
  • KOMPAS100 1.005   -3,16   -0,31%
  • LQ45 777   -4,08   -0,52%
  • ISSI 212   1,22   0,58%
  • IDX30 402   -2,62   -0,65%
  • IDXHIDIV20 484   -3,58   -0,73%
  • IDX80 114   -0,52   -0,46%
  • IDXV30 119   -0,94   -0,79%
  • IDXQ30 132   -0,40   -0,30%

Pro-Kontra Ekspor Listrik Hijau ke Singapura, RI Harus Pastikan Keuntungan Maksimal


Senin, 17 Februari 2025 / 05:55 WIB
Pro-Kontra Ekspor Listrik Hijau ke Singapura, RI Harus Pastikan Keuntungan Maksimal
ILUSTRASI. PLTS Terapung Cirata: Petugas membersihkan Solar panel PLTS Terapung Cirata , JAwa Barat, Kamis (25/7/2024). PLTS seluas 200 hektare ini mampu memproduksi energi hijau berkapasitas 192 Megawatt peak (MWp) untuk menyuplai listrik bagi 50 ribu rumah dan mampu mengurangi emisi karbon sebesar 214 ribu ton per tahun. KONTAN/Baihaki/25/7/2024


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana ekspor listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) ke Singapura menuai perdebatan di dalam negeri.

Sejumlah pihak mengingatkan bahwa kebijakan ini harus dikaji lebih dalam, mengingat bauran energi terbarukan Indonesia masih rendah dan kebutuhan domestik juga terus meningkat.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan bahwa ekspor listrik ke Singapura bisa menjadi langkah yang kurang sinergis dengan kebutuhan energi nasional.

Baca Juga: Menteri Bahlil Tahan Ekspor Listrik Hijau ke Singapura, AESI Beri Tanggapan

"Indonesia masih membutuhkan tambahan 75 gigawatt energi terbarukan sesuai komitmen pemerintahan Prabowo ke depan. Jika buru-buru mengekspor, kita justru bisa mengalami defisit energi hijau untuk kebutuhan dalam negeri," ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (16/2).

Selain itu, muncul kekhawatiran terkait proyek carbon capture and storage (CCS) yang akan dikembangkan Singapura di Indonesia.

Menurut Bhima, ada risiko bahwa proyek ini bisa membuat Indonesia menjadi "importir sampah karbon" dari negara maju.

"Apakah Indonesia akan menjadi tempat pembuangan emisi karbon dari industri Singapura? Risiko lingkungan dari CCS ini sangat tinggi, terutama karena Indonesia rawan gempa. Jika terjadi kebocoran gas, dampaknya bisa berbahaya bagi masyarakat sekitar lokasi proyek," jelasnya.

Selain itu, Bhima menyoroti pentingnya transfer teknologi dan keterlibatan industri dalam negeri dalam pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk ekspor.

"Kalau proyek PLTS hanya melibatkan perusahaan asing tanpa transfer teknologi dan tanpa memenuhi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), maka manfaat bagi industri nasional akan minim," tambahnya.

Baca Juga: Batubara Belum Padam, Menteri ESDM:RI Punya Kontrak Ekspor ke Eropa 20 Tahun ke Depan

Bhima juga menyoroti bahwa Singapura dan Malaysia sedang membangun kawasan ekonomi khusus di Johor.

Jika ekspor listrik hanya untuk menyuplai kawasan tersebut tanpa ada industrialisasi di Indonesia, maka Indonesia hanya akan menjadi penyedia sumber daya tanpa keuntungan lebih.

Namun, Bhima juga mengakui bahwa ekspor listrik berpotensi memberikan pemasukan devisa yang bisa memperkuat nilai tukar rupiah.

Jika negosiasi dilakukan dengan baik, surplus listrik dari proyek ini bisa dialokasikan untuk kebutuhan domestik, khususnya di Sumatra, yang berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut.

"Yang paling penting adalah bagaimana negosiasi dilakukan agar ada solusi win-win bagi Indonesia dan Singapura. Kita harus memastikan nilai tambah yang nyata, seperti industrialisasi komponen PLTS, sistem transmisi, dan penyimpanan energi," kata Bhima.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa ekspor listrik hijau ke Singapura tidak akan dilakukan sembarangan.

Dalam Mandiri Investment Forum (11/2/2025), ia menyatakan bahwa negosiasi masih berlangsung agar Indonesia mendapatkan manfaat yang lebih besar.

"Saya bilang, ‘Saya akan kirim. Kita bersahabat kok. Saking baiknya kita, kita dukung terus Singapura.’ Sekarang kita mau tanya, kapan dia dukung kita?” ujar Bahlil.

Baca Juga: Dukung Dekarbonisasi, PGE dan Pertagas Perkuat Sinergi untuk Energi Bersih

Bahlil menekankan bahwa Indonesia tidak menolak kerja sama ini, tetapi Singapura harus memberikan keuntungan lebih bagi Indonesia, termasuk dalam investasi industri energi terbarukan.

"Mudah-mudahan hasil pertemuan saya kemarin sudah sama-sama insaf, untuk perbaikan kerja sama antara kedua negara," katanya.

Detail Kesepakatan Ekspor Listrik ke Singapura

Pemerintah telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Singapura terkait ekspor listrik hijau melalui acara Announcement on Cross-Border Electricity Interconnection di Indonesia International Sustainability Forum.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa Indonesia akan mengekspor listrik hijau sebesar 3 gigawatt (GW) dengan nilai US$ 30 miliar (Rp 308 triliun) dari Kepulauan Riau pada 2027–2035.

"Kita akan mengekspor energi hijau ke Singapura. Sekitar 2 gigawatt, mungkin bisa mencapai 3 gigawatt. Karena ada banyak potensi di sini,” kata Luhut.

Otoritas Pasar Energi Singapura (Energy Market Authority/EMA) telah memberikan Izin Bersyarat kepada lima perusahaan yang bertanggung jawab atas ekspor listrik rendah karbon dari Indonesia:

  • Pacific Medco Solar Energy Pte Ltd – 0.6 GW
  • Adaro Solar International Pte Ltd. – 0.4 GW
  • EDP Renewables APAC – 0.4 GW
  • Vanda RE Pte Ltd – 0.3 GW
  • Keppel Energy Pte Ltd – 0.3 GW

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Mastering Finance for Non Finance Entering the Realm of Private Equity

[X]
×