kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Problema generasi milenial berburu hunian


Sabtu, 30 Desember 2017 / 21:40 WIB
Problema generasi milenial berburu hunian


Sumber: Kompas.com | Editor: Rizki Caturini

Seperti halnya Alek, Juni (26 tahun) pun demikian. Karyawan swasta yang tinggal di Depok dan bekerja di Jakarta ini juga tak terpikir membeli hunian. Sejauh ini dia merasa hidupnya masih santai saja, belum terbeban punya hunian.

"Belum sih, belum kepikiran. Sekarang masih enak ngekos. Tapi, ya pasti beli nanti, sekarang juga uangnya belum ada, karena kan harus ada uang muka," tutur Juni.

Penghasilannya sedikit lebih tinggi dari Alek, memang. Tapi, pengeluaran Juni untuk urusan ini dan itu juga tak kalah besar dari Alek. Terutama, menurut dia, setelah menuruti hobinya beli motor keluaran baru.

"Ini sudah yang ketiga beli motor sejak kerja. Mungkin, dua tahun lagi deh baru bisa beli rumah. Kalau iseng-iseng lihat di iklan-iklan sih gaji saya masih belum cukup buat beli rumah, buat uang mukanya juga belum, harus nabung dulu dari sekarang," katanya.

Mendengar itu,  tak salah jika Associate Director Research Colliers Ferry Salanto mengatakan bahwa saat ini ada dua pasar hunian yang aktif, yakni kelas menengah ke bawah yang sensitif terhadap uang muka atau down payment (DP) dan cicilan per bulan.

"Mereka ini adalah pembeli end user. Mereka kesulitan untuk membeli karena terbentur tingginya uang muka atau down payment (DP) dan cicilan per bulan," kata dia.

Kedua adalah kelas menengah atas yang merupakan investor. Mereka akan berpikir ulang untuk membeli apartemen baru terlebih bila pasar sewa belum pulih seperti saat ini.




TERBARU

[X]
×