Reporter: Ahmad Febrian | Editor: Ahmad Febrian
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Koalisi masyarakat sipil untuk transisi energi berkeadilan yang terdiri dari 30 lembaga riset dan organisasi masyarakat sipil, merekomendasikan delapan quick wins transisi energi untuk 100 hari pertama pemerintahan Prabowo Subianto.
Quick wins ini bertujuan mendukung target pertumbuhan ekonomi lebih berkualitas dan inklusif melalui percepatan transisi energi. Apalagi, Prabowo menyampaikan akan menghentikan operasi pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) dalam 15 tahun mendatang. Disertai penambahan 75 gigawatt kapasitas energi terbarukan hingga tahun 2040.
“Ini merupakan langkah awal perlu dikawal agar komitmen tersebut dapat terlaksana secara inklusif dan berkeadilan untuk mencapai kedaulatan energi Indonesia," ujar Plt. Direktur Program Koaksi Indonesia, Indra Sari Wardani, dalam keterangannya, Kamis (19/12).
Koalisi masyarakat sipil tersebut menekankan hal krusial dalam quick wins yang perlu dipenuhi, untuk mengimplementasikan rencana Prabowo tersebut. Yakni memastikan mekanisme pelibatan dan partisipasi bermakna masyarakat dalam perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan implementasi kebijakan strategis di sektor energi dan turunannya. Hal ini untuk memastikan agar pendapat dan usulan masyarakat didengar dan dipertimbangkan, serta mendapat penjelasan informatif sebagaimana amanat Undang-Undang No.13 Tahun 2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Baca Juga: Kemenperin Gaungkan Penguatan Ekosistem Industri Hijau pada AIGIS ke-2 Mendatang
Executive Vice President Transisi Energi & Keberlanjutan PT PLN, Kamia Handayani mengatakan, pemerintah tengah menyelaraskan beberapa kebijakan energi nasional berupa Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Saat ini PLN tengah menyusun RUPTL 2025 - 2034 yang selaras dengan target NDC 2030 dan net zero emission (NZE) 2060
Koalisi masyarakat zipil menekankan, pemerintah perlu mengevaluasi (KEN) dan RUU Energi Baru dan Terbarukan (EBT) agar memprioritaskan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin mikro/mini hidro dan panas bumi. Potensi energi terbarukan di Indonesia mencapai 3.716 GW (RPJPN, 2025-2035), tapi baru dimanfaatkan kurang dari 14 GW (0,37%).
“Kami mengharapkan pengembangan energi ke depan lebih mengutamakan sumber energi yang tidak berisiko tinggi terhadap lingkungan, aman, tidak memberikan tekanan lebih pada ekosistem, dan tidak berkonflik dengan masyarakat” kata Grita Anindarini, Senior Strategist Indonesian Center for Environmental Law.
Pembangunan energi terbarukan mencapai 13,9% pada semester 1 2024. Koordinator Rencana dan Laporan Direktorat Jenderal EBTKE, Kementerian ESDM, Widya Adi Nugroho mengatakan, angka ini mencakup seluruh energi terbarukan, baik yang dikelola PLN, maupun off-grid dan dari independent power producer (IPP). “Persentase ini meningkat karena akan ada beberapa pembangkit listrik tenaga panas bumi, air, dan surya yang akan beroperasi di penghujung tahun ini” lanjut Widya.
Kamia mengungkapkan PLN telah menyiapkan rencana untuk meningkatkan bauran energi terbarukan dalam rencana pembangkitannya. Sekaligus membangun jaringan transmisi listrik smart grid.
“Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelumnya, PLN telah merencanakan kapasitas terpasang energi terbarukan sebesar 21 GW hingga tahun 2030. Dengan revisi terbaru untuk RUPTL 2025–2034, kapasitas ini bisa lebih besar lagi,” katanya.
Perlu ada prosedur pengadaan energi terbarukan yang jelas dan transparan, serta pentingnya desentralisasi energi yang memungkinkan pengembangan energi terbarukan yang demokratis dan berkelanjutan.
Selanjutnya, aspek ESG (environment, social, and governance), yang mencakup prinsip kelestarian lingkungan, keadilan sosial dan tata kelola yang baik, merupakan prasyarat yang harus dipenuhi oleh pelaku industri untuk mendapatkan perizinan investasi.
Sementara peneliti bioenergi Celios, Viky Arthiando mengatakan, terdapat celah praktik ekspor ilegal dalam rantai pasok biomassa dan memicu unreporting atau miss-invoicing yang berpotensi merugikan negara, karena potensi bea keluar yang tidak optimal, kepatuhan pajak rendah, dan risiko deforestasi yang tidak tercatat. Oleh karena itu, Koalisi mendorong pengawasan dan audit yang kuat untuk praktik rantai pasok biomassa.
Direktur Program Yayasan Bicara Data Indonesia, Heri Susanto, mengatakan bahwa upaya transisi energi berkeadilan penting untuk diwujudkan karena akan mengurangi emisi karbon, mendatangkan investasi baru, lapangan kerja, dan mengurangi kemiskinan.
Selanjutnya: Budi Arie Diperiksa Polisi dalam Kasus Korupsi Pegawai Komdigi, Statusnya Masih Saksi
Menarik Dibaca: Jenis Tanaman yang Cocok untuk Ibu Super Sibuk hingga Pecinta Kebun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News