kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45899,85   2,25   0.25%
  • EMAS1.378.000 0,95%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Program B40, Dilema Prioritas Komoditas CPO untuk Pangan atau Energi


Kamis, 27 Juni 2024 / 20:27 WIB
Program B40, Dilema Prioritas Komoditas CPO untuk Pangan atau Energi
ILUSTRASI. Pengembangan Biodiesel: Usher memperlihatkan produk biodiesel saat pameran Trade Expo Indonesia di Tangerang, Banten, Jum'at (21/10/2022). Kementerian Perindustrian menyampaikan pemerintah masih fokus pada pengembangan program campuran biodiesel 20% dan 30% atau B20 dan B30 sebelum melangkah lebih lanjut pada program B40.KONTAN/Baihaki/21/10/2022


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Program mandatori biodiesel B40 atau bauran solar dengan 40% bahan bakar nabati (BNN) berbasis minyak sawit memunculkan dilema. Prioritas penggunaan komoditas minyak kelapa sawit alias Crude Palm Oil (CPO) untuk pangan atau lebih ke kebutuhan energi.

Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka merencanakan program biodiesel B50 atau bauran Solar dengan 50% minyak sawit bisa tercapai pada 2029. Dan di tahun 2024, rencana biodiesel B40 akan dilakukan sebagai kelanjutan B35 di tahun sebelumnya. 

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eniya Listiani Dewi menargetkan program B40 ini akan diterapkan pada 2025. Saat ini program B40 masih di tahap uji coba ke mesin non otomotif setelah sebelumnya dilakukan uji coba ke mesin otomotif.

Nah, dilema ini muncul lantaran untuk kesiapan stok CPO program B40 perlu dipertimbangkan juga produksi CPO tahunan, kebutuhan untuk ekspor, dan kebutuhan untuk food dan feed di dalam negeri. 

Baca Juga: Tahun Depan, Penerapan Mandatori Biodiesel B40 Ditargetkan Mulai Jalan

Eniya menerangkan bahwa Kementerian ESDM memproyeksikan stok minimal minyak kelapa sawit mentah untuk menopang program Biodiesel B40 sekitar 17,57 juta kilo liter nantinya yang berasal dari asumsi kebutuhan solar tahun 2024 sebesar 38,04 juta kilo liter.

Sementara dengan asumsi pertumbuhan rata-rata produk domestik bruto (PDB) sebesar 5%, maka penyaluran B40 diperlukan stok CPO domestik sekitar 17,57 juta kilo liter atau sekitar 15,29 juta ton CPO.

"Stok kita bisa sampai 18 juta kilo liter. Kalau B40 perkiraan mencapai 15 juta kilo liter. Dari resource aman. Sementara untuk solarnya nanti perlu diperbaiki kualitasnya. B0-nya perlu penyesuaian untuk ke Euro4 agar B40 pun bisa maksimal," ungkapnya kepada KONTAN, Kamis (27/6).

Pengusaha Pertimbangkan CPO untuk Pangan dan Ekspor

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan, jika CPO mau diolah menjadi Biodisel bisa saja, tetapi yang harus dilihat dengan teliti bagaimana untuk ekspor apakah mencukupi atau tidak.

"Kalau permintaan naik, karena kalau suply kurang harga minyak nabati dunia termasuk sawit akan naik. Saat ini memang prioritas untuk pangan dan energi, sisanya baru di ekspor," kata Eddy kepada Kontan.co.id, Kamis (27/6).

Eddy menuturkan, program ini akan sulit tercapai mengingat produksi dan produktivitas sawit relatif stagnan dan cenderung turun. Produksi CPO sepanjang 2023 mencapai 50 juta ton. Jika dinaikkan menjadi 40% atau menjadi B40 maka kebutuhan dalam negeri untuk pangan dan energi adalah sekitar 24 juta ton.

Baca Juga: Ekspor CPO Turun, Pengamat Ungkap Bisa Berlangsung Hingga Akhir Tahun

“Produksinya kita sekitar 50-an juta ton CPO, stock rata-rata sekitar 4 sampai 5 juta ton. Tapi produksi selama 2020-2022 ini relatif stagnan, 2023 ini sedikit lebih tinggi dari 2022,” ungkapnya. 

“Ekspor kita di tahun 2022 sebesar 32 juta ton, dengan mandatory B40 kemungkinan ekspor sudah mulai berkurang. Yang menjadi masalah apabila pasokan minyak sawit Indonesia ke pasar internasional berkurang maka ini akan menaikkan harga minyak nabati dunia termasuk minyak sawit, apabila suply dunia berkurang. Dan ini juga otomatis akan mempengaruhi harga minyak dalam negeri,” ungkapnya. 

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, memang ada dilema B40 akan bermanfaat sebagai alernatif untuk transisi energi sehingga akan memberikan manfaat lingkungan yang lebih besar.

"Pemerintah pun perlu memperhatikan dari sisi bisnis apakah akan menguntungkan bagi pengusaha sawit atau tidak. Dari sisi penerimaan negara, hingga keberpihakan kepada petani terkait harga CPO," ungkapnya kepada KONTAN, Kamis (27/6).

Sementara itu, Direktur Eksekutif Palmoil Agribusiness Strategic Policy Institu (PASPI), Tungkot Sipayung mengatakan Program biodiesel B40 atau bauran solar dengan 40% minyak sawit dapat menghemat devisa kisaran US$ 13-15 miliar.

"Semakin meningkat mandatory biodiesel berarti kita menggunakan impor solar yang semakin sedikit, sama dengan kita menghemat devisa. Tahun lalu kita bisa menghemat US$ 11 miliar, kalau naik B40 itu bisa USD 13-15 miliar tergantung harga solar internasional," ungkap Tungkot kepada Kontan.co.id.

Baca Juga: Pasokan CPO Belum Bisa Mencukupi Mandatori B50

Pengusaha Sawit Genjot Produksi

Untuk menyambut kebijakan program B40, beberapa pengusaha sawit akan memacu produksinya.

Head of Investor Relation PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) Stefanus Darmagiri mengatakan, penggunaan biodiesel yang lebih besar akan memberikan dampak positif terhadap industri kelapa sawit di mana dapat meningkatkan permintaan kelapa sawit di dalam negeri serta dapat mengurangi ketergantungan ekspor karena penjualan kelapa sawit nasional ke pabrik biodiesel lokal akan meningkat.

"Penggunaan minyak kelapa sawit untuk bahan baku biodiesel juga memiliki dampak yang penting dalam menurunkan impor solar, sehingga pemerintah dapat menghemat cadangan devisa," ungkapnya kepada Kontan.co.id.

Stefanus menambahkan, dengan adanya kenaikan permintaan CPO untuk bahan baku biodiesel, hal ini dapat menjadi katalis positif untuk harga CPO yang secara tidak langsung mendukung terhadap kinerja perusahaan. SGRO sendiri menargetkan peningkatan produksi CPO sebesar 5% di tahun 2024.

Baca Juga: Penerapan Program B40 Diprediksi Bisa Hemat Devisa Hingga US$ 15 Miliar

Salah satu emiten perkebunan sawit terbesar di Indonesia, PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) menyatakan industri kelapa sawit secara umum kini tengah menghadapi stagnansi produksi selama beberapa tahun ini.

"Jadi, secara industri peningkatan produktivitas tanaman kelapa sawit Indonesia memang kini tengah jd prioritas," kata Vice President Investor Relation & Public Affairs Fenny Sofyan kepada KONTAN, Kamis (27/6). Target produksi AALI meningkat 5% setiap tahun.  Hal ini dilakukan dengan program replanting yg secara konsisten tiap tahun 4000-5000 ha dengan menggunakan bibit unggul.

Sekretaris Perusahaan PT  Cisadane Sawit Raya Tbk (CSRA) Iqbal Prastowo menilai program B40 baik untuk perkembangan industri sawit di Indonesia. 

Pada dasarnya CSRA selalu menargetkan peningkatan produksi dari tahun ke tahun. Perihal kaitannya dengan program B40, CSRA masih melakukan bisnis hulu dengan memasok CPO ke perusahaan-perusahaan sawit domestik.

Menurut Iqbal, peningkatan angka dari B35 ke B40 pastinya berbanding lurus dengan peningkatan pasokan bahan baku. CSRA hanya memasok bahan baku ke perusahaan sawit domestik dan belum terjun ke bisnis hilir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×