Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) menilai derasnya arus barang impor murah menjadi tantangan utama dalam pengembangan industri busana muslim nasional.
Kondisi ini membuat produk lokal sulit bersaing, bahkan di pasar domestik sekalipun.
Ketua Umum APSyFI, Redma Gita Wirawasta, mengatakan potensi Indonesia untuk menjadi kiblat fashion muslim dunia sangat besar, namun hingga kini belum tergarap serius.
“Indonesia sebenarnya punya peluang besar, tapi bahkan untuk menguasai pasar domestik saja masih jauh, karena pasar masih dikuasai barang impor,” ujarnya kepada Kontan, Jumat (15/8/2025).
Baca Juga: Industri TPT Belum Rasakan Kenaikan Indeks Manufaktur, Tunggu Efek Aturan Impor Baru
Redma menuturkan kapasitas produksi serat dan benang di dalam negeri sebenarnya sudah mencukupi.
Kapasitas serat polyester dan rayon terpasang mencapai 1,6 juta ton per tahun, sementara kapasitas benang filamen dan pintal mencapai 2 juta ton per tahun.
Namun, hambatan justru muncul di industri mid-stream yang harus melakukan diversifikasi kain.
Sektor ini sulit berkembang karena bersaing dengan impor murah, sehingga kemampuan untuk mengembangkan kain baru maupun promosi ke level global menjadi terbatas.
Menurut Redma, pemerintah perlu menghadirkan kebijakan yang menciptakan persaingan adil di pasar domestik.
Dengan begitu, sektor mid-stream bisa lebih kuat dalam mendukung bahan baku industri busana muslim nasional.
“Kalau fairness competition tercipta, kita bukan hanya bisa kuasai pasar domestik, tapi juga berpeluang besar menjadi pemain utama fashion muslim dunia,” pungkasnya.
Baca Juga: Investasi Tumbuh, PHK Naik: Industri Tekstil Terancam Deindustrialisasi
Selanjutnya: Profit Taking, Harga Bitcoin Anjlok Setelah Cetak Rekor
Menarik Dibaca: 8 Daftar Rebusan Daun yang Efektif Menurunkan Kolesterol Tinggi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News