Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) tengah menghadapi tekanan berat akibat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), yang terjadi di tengah tingginya realisasi investasi.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran akan deindustrialisasi dini pada sektor padat karya tersebut.
Data Kementerian Investasi/BKPM mencatat realisasi investasi di Indonesia mencapai Rp 942,2 triliun selama semester I-2025, yang disebut-sebut telah menciptakan 1,26 juta lapangan kerja baru.
Baca Juga: Minim Perlindungan Konsumen, YKTI Minta SNI untuk Produk Tekstil
Namun, di sisi lain, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah pekerja yang terkena PHK justru melonjak 32% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, menjadi 42.385 orang.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Farhan Aqil menyebut, tren PHK dan penutupan usaha masih menghantui sektor TPT.
Menurutnya, meski ada pertumbuhan investasi, kondisi di lapangan menunjukkan banyak pabrik lama yang tutup dan utilisasi industri secara nasional justru turun.
“Lebih banyak pabrik lama yang tutup atau tidak beroperasi, sehingga tingkat utilisasi nasional menurun dan secara agregat pertumbuhan investasinya masih negatif,” ujar Farhan, Jumat (1/8/2025).
Ia menekankan pentingnya jaminan pasar untuk menjaga iklim investasi tetap sehat. Sayangnya, pasar domestik justru dibanjiri produk impor, yang memperburuk daya saing di tengah kondisi ekspor yang juga penuh tantangan.
Baca Juga: Menaker: Industri TPT Tumbuh Meskipun Ada Kasus PHK Menerjang
Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Bandung (IPKB) Nandi Herdiaman mengungkapkan, utilisasi industri garmen menengah-kecil yang menyasar pasar lokal masih di bawah 50%.
Hal ini sejalan dengan menjamurnya produk impor baik di toko luring maupun daring.
“Dalam dua tahun terakhir, memang jumlah anggota kami bertambah karena banyak eks-karyawan pabrik yang terkena PHK beralih menjadi pelaku usaha konveksi. Tapi kondisinya tetap sama, order masih minim,” ungkap Nandi.
Sementara itu, Ketua Bidang Teknologi Industri Tekstil Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI) Cecep Daryus menambahkan bahwa tenaga kerja tekstil lokal banyak yang beralih ke luar negeri.
Ia menyebut banyak profesional tekstil Indonesia kini berkarier di Vietnam, Kamboja, hingga Malaysia, karena tingginya kebutuhan manajerial di negara-negara tersebut.
“Ada fenomena peningkatan tenaga profesional tekstil kita yang pindah ke luar negeri karena kebutuhan tenaga kerja level manajemen di kawasan ASEAN cukup besar,” tuturnya.
Baca Juga: Imbas Tarif Impor Trump, Industri TPT Dunia Bisa Oversupply & Banjiri Pasar Domestik
Direktur Eksekutif Korps Alumni HMI (KAHMI) Rayon Tekstil Agus Riyanto turut menyoroti ketidaksesuaian antara data investasi yang diumumkan pemerintah dengan kondisi lapangan.
Ia merujuk pada komitmen investasi tambahan Rp 10,2 triliun untuk sektor TPT yang diumumkan Kementerian Perindustrian pada 2024.
“Masih banyak data yang tidak disampaikan. Kami memperkirakan nilai investasi yang terhenti akibat tutupnya sekitar 60 perusahaan TPT mencapai lebih dari Rp 80 triliun. Investasi itu memang tidak hilang, tapi mati suri,” ujar Agus.
Agus mengingatkan bahwa sektor TPT berisiko mengalami deindustrialisasi dini. Ia mencatat, kontribusi sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus menyusut, dari 1,22% pada 2015 menjadi 1,02% pada 2024.
“Padahal, TPT merupakan sektor strategis yang menyerap banyak tenaga kerja dan berperan dalam meningkatkan daya beli masyarakat. Menjaga agar investasi yang ada tetap berjalan adalah tanggung jawab Kementerian Perindustrian,” pungkasnya.
Selanjutnya: Pembelian Emas oleh Konsumen Akhir Bebas Pajak Per Hari Ini, Sudah Tahu?
Menarik Dibaca: Jelang Maybank Marathon 2025, Ini Cara Jaga Ritme dan Kuatkan Mental!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News