Reporter: Azis Husaini, Nur Qolbi | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Harga Batubara Acuan (HBA) bulan Juli kembali terkoreksi ke angka US$ 52,16 per ton. Angka tersebut turun tipis sebesar US$ 0,82 per ton dari bulan Juni, yaitu US$ 52,98 per ton. Penurunan tersebut diakibatkan oleh sentimen yang sama di bulan lalu yaitu minimnya serapan pasar global terhadap permintaan pasokan batubara Indonesia.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan faktor paling signifikan adalah stok batubara di India dan Tiongkok terbilang cukup tinggi. "Dua negara tadi sedang mengutamakan terlebih dahulu pasokan (batubara) dalam negeri," jelas Agung beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Ini pihak-pihak yang menggugat UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi
Direktur Utama PT Bukit Asam Tbk (PTBA) Arviyan Arifin mengungkapkan, pihaknya sedang menyesuaikan dengan demang yang sedang turun. Meski begitu, untuk menjaga kinerja keuangan pihaknya terus melakukan efisiensi secara maksimal. "Kami akan turunkan produksi 20%," kata dia ke KONTAN, Kamis (2/7). Asal tahu saja PTBA menargetkan produksi 30 juta ton tahun ini.
Dia mengatakan, pihaknya juga terus berupaya agar dengan pemangkasan produksi ini kinerja tidak terlalu terpengaruh. Tetapi lagi-lagi ini semua tergantung dari perkembangan kondisi termasuk pandemi Covid-19.
Tak berbeda jauh dengan PTBA, Rindra Donovan Head of Corporate Affairs & Corporate Secretary PT ABM Investama Tbk menyatakan, ABM akan mengurangi produksi dari target 15 juta ton tahun ini menjadi 12 juta sampai 13 juta ton.
"Kinerja perusahaan agak terganggu, namun tetap bisa bertahan, meski pertumbuhan revenue tidak terlalu signifikan dibanding tahun lalu," ujar dia ke KONTAN, Kamis (2/7).
Yang membuat bahagia, dia melihat bahwa beberapa negara importir sudah mulai membuka diri untuk menerima ekspor coal namun belum sepenuhnya kembali pada kondisi sebelumnya. "Dengan strategi mining value chain (MVC) mulai dari pit hingga penjualan coal disinergikan dalam Grup kami, perusahaan tetap optimis dapat menjalankan bisnis dengan baik," imbuh dia.
Sementara itu, Managing Director Indika Energy, Azis Armand mengatakan pihaknya belum mau banyak berkomentar soal pemangkasan produksi tahun ini. "Saat ini kami masih melihat perkembangan pasar," imbuh dia ke KONTAN.
Baca Juga: DOID masih mempertahankan target operasional meski kondisi pasar global belum stabil
Pada tahun ini INDY menargetkan produksi 30,95 juta ton, sedangkan tahun 2019 lalu realisasi produksi mencapai 34 juta ton.
Sementara itu, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) belum berencana memotong target produksi 2020. "Sampai saat ini belum ada perubahan panduan produksi," kata Head of Corporate Communication ADRO Febriati Nadira ke KONTAN, Kamis (2/7).
Hingga akhir tahun 2020, ADRO menargetkan dapat menghasilkan 54 juta ton-58 juta ton batubara. ADRO juga berharap bisa membukukan EBITDA operasional antara US$ 900 juta -US$ 1,2 miliar.
Febriati menyampaikan, fluktuasi harga jual batubara di pasar tidak dapat ADRO kontrol. "Untuk itu, kami fokus terhadap upaya peningkatan keunggulan operasional dan pengendalian biaya dan efisiensi untuk mempertahankan kinerja yang solid," tutur dia.
UU Minerba Digugat
Sejumlah kalangan menggugat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jum'at (10/7) siang ini. Rencananya, para memohon akan mengajukan gugatan ke MK pada pukul 13.30 WIB Jumat (10/7).
Menurut Ahmad Redi, salah satu tim kuasa hukum, pihaknya mengajukan judicial review berupa uji formil. Para pemohonan menggugat proses pembentukan dan pembahasan UU No. 3 Tahun 2020 yang dinilai cacat, tidak transparan dan menyalahi ketentuan perundang-undangan.
Baca Juga: Ini delapan alasan gugatan uji formil UU Minerba ke Mahkamah Konstitusi
"Terbentuknya UU No. 3 Tahun 2020 ini mengandung potensi moralitas hukum formil dan materiil yang jahat bagi pembangunan nasional di bidang pertambangan mineral dan batubara," kata Redi saat dihubungi Kontan.co.id, Jum'at (10/7).
Ada sejumlah pemohon yang mengajukan gugatan, terdiri dari tokoh-tokoh yang bergerak di berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari gubernur, mantan pejabat, pakar pertambangan hingga aktivitas mahasiswa.
Pemohon gugatan UU Minerba baru itu antara lain: Erzaldi Rosman Djohan (Gubernur Kepulauan Bangka Belitung), Alirman Sori (Ketua PPUU DPD RI), Tamsil Linrung (anggota DPD RI), Hamdan Zoelva (Perkumpulan Serikat Islam), Marwan Batubara (Indonesian Resources Studies/IRESS), Budi Santoso (Indonesia Mining Watch/IMW), Ilham Rifki Nurfajar (Sekjen Perhimpunan Mahasiswa Pertambangan), dan M. Andrean Saefudin (Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia).
Adapun, pendaftaran permohonan pengujian UU No. 3 Tahun 2020 rencananya dilaksanakan pada Jum'at 10 Juli 2020 pukul 13.30 WIB di kantor Mahkamah Konstitusi. Dalam gugatan ini, paling tidak ada 10 pengacara yang tergabung dalam tim kuasa hukum pemohon.
Redi membeberkan, paling tidak ada tiga hal pokok yang menjadi pertimbangan pengajuan gugatan ini. Pertama, Rancangan UU Minerba (RUU) tidak memenuhi kriteria carry over atau keberlanjutan pembahasan ke DPR periode berikutnya.
Menurut penggugat, carry over yang pada pembahasan UU Minerba baru itu dipaksakan, dan tidak sesuai dengan Pasal 71 A UU No. 15 tahun 2019 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pasal tersebut mengatur bahwa dalam hal pembahasan RUU telah memasuki pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, maka hasil pembahasan RUU disampaikan kepada DPR periode berikutnya dan berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden, dan/atau DPD, RUU tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas prioritas tahunan.
Secara faktual, lanjut Redi, RUU Minerba merupakan RUU inisiatif DPR yang telah disusun drafnya sejak DPR periode 2014-2019 dan hingga masa jabatan DPR periode lalu berakhir bulan September 2019 belum dilakukan pembahasan DIM RUU Minerba. Sehingga, RUU Minerba bukan lah RUU carry over sehingga tidak dapat dilanjutkan pembahasannya.
"Sebaliknya ia harus mulai dari tahap awal, yaitu perencanaan, penyusunan, baru pembahasan. Artinya, pemaksaan carry over RUU Minerba ke DPR Periode 2019-2024 jelas ilegal karena bertentangan dengan Pasal 71A UU No. 15 Tahun 2019," terang Redi.
Kedua, pelibatan peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dalam pembahasan UU Minerba. Menurut pemohon, DPD RI mendapat atribusi kewenangan dari Konstitusi bahwa setiap RUU di bidang sumber daya alam mesti ada peran DPD RI dalam penyusunan dan pembahasannya.
Hal itu berdasarkan Pasal 22D UUD NRI 1945, Pasal 249 UU Nomor 17 tahun 2014 serta Putusan MK No. 92/PUU-X/2012. "Menyatakan bahwa DIM diajukan oleh Presiden dan DPD jika RUU berasal dari DPR. Kenyataannya tidak ada DIM yang dibuat oleh DPD sepanjang pembahasan RUU Minerba," terang Redi.
Ketiga, gugatan uji formil ini juga menyoroti soal asas keterbukaan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No.12 Tahun 2011. Pemohon menilai, pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan partisipasi publik dan stakeholder secara luas, termasuk pemerintah daerah dan BUMN.
"Hal ini jelas melanggar asas keterbukaan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan bersifat transparan dan terbuka," tutur Redi.
Menurutnya, perlu waktu yang Panjang untuk memvalidasi, mengklarifikasi, memfalsifikasi setiap rencana norma yang akan mengatur rakyat. "Uji publik ini amatlah penting melalui pemberian kesempatan seluas-luasnya bagi berbagai kelompok kepentingan. RUU ini dibahas secara kilat dan tertutup," pungkas Redi.
Baca Juga: UU Minerba digugat ke MK, begini tanggapan pemerintah
Asal tahu saja, UU Nomor 3 Tahun 2020 merupakan UU Minerba yang baru, menggantikan UU No. 4 Tahun 2009. UU Minerba baru itu disahkan, dan ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 10 Juni 2020. Kemudian diundangkan di hari yang sama oleh Kementerian Hukum dan HAM.
Sejak penyusunannya, perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009 ini memang kontroversial. Meski banyak penolakan, DPR dan Pemerintah tetap melanjutkan pembahasan hingga akhirnya disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 12 Mei 2020.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News