kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rame-rame menolak pajak dan royalti di RUU Migas


Selasa, 14 April 2015 / 10:45 WIB
Rame-rame menolak pajak dan royalti di RUU Migas
ILUSTRASI. Minyak kelapa


Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Satuan Kerja Khusus Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Indonesia Petroleum Association (IPA), dan DPR menolak penerapan sistem pembayaran pajak dan royalti ( royalty and tax) di draf Rancangan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (RUU Migas). Pasalnya, sistem ini dikhawatirkan mendorong pengurasan sumber daya energi di Indonesia.

Sebagai gambaran dengan sistem ini maka kontraktor migas hanya dikenakan royalti dan pajak atas sumberdaya alam yang mereka angkat ke permukaan. Sementara saat ini kontraktor hanya bertugas mengangkat minyak, lalu di bagi dengan pemerintah. Sementara ongkos pengangkatan ditanggung oleh pemerintah melalui cost recovery.

Sekretaris SKK Migas Gde Pradnyana berpendapat, sistem royalty and tax tidak tepat jika orientasinya untuk menaikan produksi migas. Ia malah mengusulkan agar peran pemerintah dan pajak di kurangi. "Kalau perlu hapus sistem cost recovery dan ganti dengan gross Production Sharing Contract (PSC)," katanya, Senin (13/4).

Jika menggunakan sistem gross PSC, investor akan berbondong-bondong datang untuk menggarap sumur-sumur migas. "Pasti produksi migas kita bakal naik," tuturnya.

Seperti dijelaskan Gde, Gross PSC merupakan sistem kontrak bagi hasil melalui royalti. Nantinya, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan negara akan mendapatkan bagi hasil dari net gross. Pembagian royalti bisa masing-masing sebesar 50% untuk negara, dan KKKS. Artinya negara tak perlu membayar cost recovery lagi. "Itu sistem gross PSC ini bisa memenuhi aspirasi kedua belah pihak. Penerimaan negara juga terjaga," jelasnya.

Usulan untuk menerapkan  pajak dan royalti berasal dari pemerintah. SKK Migas mengaku tak dilibatkan dalam penyusunan rencana beleid ini.  Untuk itu, SKK Migas berharap ada usulan yang lebih baik lagi selain pajak dan royalti. "Kami ingin mencari yang terbaik," ujar dia.

Sementara Board of Director IPA Sammy Hamzah menyatakan, pemikiran mengubah RUU Migas harus berani. Sebab untuk mengenalkan rezim baru perlu pemikiran baru. "Dulu kami mengenalkan sistem PSC, saat ini kita berusaha mempertahankan usulan itu," jelasnya.

Dia sepakat jika pemerintah menerapkan sistem kontrak yang berbeda dengan saat ini. Karena sistem tersebut akan menghapus yang namanya cost recovery. "Penting untuk dikaji kembali, karena aset kita tidak bisa memakai sistem pajak dan royalti saja," jelasnya.

DPR pemerintah

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Satya Yudha mengatakan, masih banyak hal yang harus dikaji bersama dengan Komisi VII DPR RI mengenai RUU Migas tersebut. "Khususnya mengenai penerapan pajak dan royalti  dalam industri migas," ungkap anggota legislatif yang aktif mengikuti diskusi migas itu.

Ia mengungkapkan, meskipun penerapan pajak dan royalti sudah mengikuti amanat dari Mahkamah Konstitusi (MK) pada saat membubarkan BP Migas, tapi  ia menilai permasalahannya jika memakai pajak dan royalti, peran negara tidak ada. "Itu melanggar konstitusi," tegas dia kepada KONTAN, Senin (13/4).

Satya mengusulkan, lebih baik jika pemerintah mendengar berbagai pendapat dari pemerhati migas dalam merumuskan RUU Migas ini. "Jika KKKS meminta sistem Gross PSC itu lebih baik karena negara punya peran, kalau pakai royalti and tax negara tidak bisa kontrol cost recovery," ungkap dia.                      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×