Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mengkaji skema penanganan pertambangan tanpa izin (PETI) melalui kemitraan dengan pemerintah.
Pendekatan ini dinilai berpotensi menata kegiatan pertambangan ilegal agar lebih terkelola, namun memicu kritik dari kalangan pakar hukum dan industri karena risiko celah hukum dan dampak lingkungan.
Direktur Jenderal Gakkum ESDM Rilke Jeffri Huwae menjelaskan, skema tersebut mengadopsi pendekatan serupa legalisasi sumur rakyat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 14 Tahun 2025 tentang Kerja Sama Pengelolaan Bagian Wilayah Kerja (WK) untuk Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi. Namun, ia menegaskan terdapat perbedaan mendasar dalam implementasinya.
Dalam Permen ESDM No. 14/2025, hanya sumur eksisting yang dapat dilegalkan, sementara aktivitas PETI bisa muncul kapan saja sehingga memerlukan mekanisme penanganan berbeda.
Baca Juga: ESDM: Transformasi Tambang Rakyat, Bukan Legalisasi PETI
“Jadi harapan memang supaya kita mau legalkan, tapi legalkan yang mana? Apakah yang baru kemarin dibikin? Atau yang nantinya kalau sudah ada PETI, baru dibikin lagi?," ujar Jeffri di Jakarta, Senin (15/12/2025).
Menurut Jeffri, kemitraan tidak serta-merta berarti melegalkan seluruh aktivitas PETI. Skema ini diarahkan pada kerja sama yang diatur ketat dengan persyaratan tertentu bagi pelaku tambang agar dapat beroperasi secara resmi.
Ia menilai, pendekatan tersebut berpotensi menjaga mata pencaharian masyarakat sekitar wilayah PETI sekaligus memastikan kegiatan pertambangan berjalan sesuai ketentuan.
Namun, wacana ini mendapat kritik dari pelaku industri. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menilai skema kemitraan berpotensi menimbulkan ketidakjelasan batas antara aktivitas legal dan ilegal, yang dapat melemahkan kepastian hukum dan tata kelola industri pertambangan secara keseluruhan.
Direktur Eksekutif APBI Gita Mahyarani mengatakan, penerapan kemitraan pada PETI juga berisiko mencederai rasa keadilan bagi pelaku usaha yang selama ini patuh terhadap regulasi.
Baca Juga: Gakkum ESDM Kaji Skema Kemitraan untuk Tangani Tambang Ilegal
“Penerapan skema kemitraan pada PETI berisiko menimbulkan ketidakjelasan batas antara aktivitas legal dan ilegal, yang pada akhirnya dapat melemahkan kepastian hukum serta tata kelola industri tambang secara keseluruhan,” ujar Gita kepada Kontan, Rabu (17/12/2025).
Pengamat hukum dan pertambangan pun menyoroti sejumlah risiko. Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bachtiar mengatakan, secara hukum dasar regulasi untuk kemitraan PETI belum cukup kuat. UU Minerba menempatkan PETI sebagai tindakan melawan hukum yang bisa dipidana.
“Perintah UU Minerba harus tetap diikuti. Ilegal ya memang pelanggaran. Penertiban tetap harus dilakukan. Skema kemitraan bisa ditempatkan sebagai masa transisi atau pembinaan, sepanjang memenuhi syarat untuk pengurusan perizinan,” ujar Bisman kepada Kontan, Rabu (17/12).
Ia menekankan risiko diskresi berlebihan dan penegakan hukum yang tebang pilih, sehingga PETI bisa berlindung di balik kemitraan untuk menghindari sanksi pidana.
Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menyoroti perbedaan mendasar antara legalisasi sumur rakyat dengan pertambangan.
“Kalau PETI dilegalkan atau melalui kemitraan, bisa muncul ribuan izin baru. Ini tidak tepat karena pemerintah mencatat hanya 1.063 PETI,” ujar Singgih kepada Kontan, Rabu (17/12/2025).
Ia juga memperingatkan risiko lingkungan dan tanggung jawab mitra, terutama di sektor batubara dan mineral, di tengah penurunan produksi nasional dan prospek pasar global yang menantang.
Baca Juga: Satgas PKH: Tambang Ilegal Dikendalikan Pemodal, Rakyat Hanya Operator
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sudirman Widhy menegaskan pemerintah harus selektif menentukan PETI mana yang dibina dan mana yang diberantas.
Pembinaan hanya bisa diterapkan pada tambang rakyat manual, seperti emas yang digali dengan sekop atau pacul, yang nantinya bisa dilegalkan melalui Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dengan pengawasan ketat.
Sementara itu, tambang ilegal yang menggunakan alat berat atau semi-mekanis, seperti excavator dan truk, harus diberantas karena merugikan lingkungan dan melanggar aturan pertambangan resmi. Praktik ini tidak hanya terjadi pada emas, tetapi juga nikel, bauksit, dan batubara.
Ketua Badan Kejuruan Teknik Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (BK Tambang PII) Rizal Kasli menekankan, legalisasi PETI dimungkinkan melalui regulasi yang ada.
Baca Juga: Ini Kriteria Tambang Ilegal yang Akan Diambil Alih Satgas Penertiban Kawasan Hutan
Langkah awal, pemerintah harus menetapkan wilayah pertambangan rakyat (WIUP) sebelum memberikan IUPR kepada perseorangan atau koperasi. Berdasarkan PP No. 39 Tahun 2025, izin diberikan dengan prioritas kepada koperasi dan UMKM dengan luasan maksimum 2.500 ha, sementara PETI umumnya berluas sangat kecil, rata-rata di bawah 5 ha.
Pola kemitraan bisa diterapkan dengan menjual bijih yang ditambang masyarakat kepada perusahaan terdekat, dengan test kadar dan harga disepakati. Namun, Rizal menekankan regulasi harus jelas agar perusahaan tidak dikriminalisasi di kemudian hari. Pemerintah juga harus menentukan komoditas yang aman ditambang secara sederhana tanpa merusak lingkungan atau menggunakan bahan berbahaya.
“Pertanyaan berikutnya adalah pengawasan. Saat ini pemerintah kesulitan mengawasi lebih dari 4.000 izin tambang resmi. Dengan tambahan izin PETI, pengawasan menjadi tantangan besar. Apakah penerapan good mining practice bisa dijalankan, atau malah pembiaran yang memicu kecelakaan kerja dan kerusakan lingkungan?” ujar Rizal kepada Kontan, Rabu (17/12/2025).
Baca Juga: APBI Dukung Langkah Pemerintah Tertibkan Tambang Ilegal
Selanjutnya: Crystalin Pastikan Stok Aman dan Harga Air Minum Stabil di Tengah Bencana
Menarik Dibaca: Belajar Parenting Zaman Sekarang, Ini Pendekatan Sampoerna Academy untuk Orang Tua
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













