Reporter: Evilin Falanta | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Pemerintah berencana membangun terminal rotan di sentra kerajinan rotan di berbagai daerah. Langkah ini sebagai salah satu cara mengatasi masalah pasokan bahan baku rotan yang selama ini menjadi momok para perajin rotan di dalam negeri.
Namun, langkah ini ditanggapi dingin oleh para perajin mebel rotan. Pasalnya, kepemilikan terminal rotan itu masih belum jelas. Nantinya terminal rotan itu milik pemerintah atau swasta.
Hatta Sinatra Ketua Umum Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) mengatakan, kedua opsi itu memiliki kelemahan tersendiri. Jika terminal rotan itu milik pemerintah, justru akan menambah beban anggaran belanja negara. Sebab, pemerintah harus bersedia memasok dan menyerap produksi rotan yang ada.
Sedangkan, jika terminal rotan itu dimiliki swasta yang notabene adalah produsen rotan, hal itu dirasa memberatkan para perajin rotan. "Sebab selama ini kami membeli rotan mentah dengan harga tinggi dari produsen, sehingga kami kerap kekurangan bahan baku," kata Hatta.
Ia mengaku, dalam tiga tahun terakhir harga rotan mentah telah naik 30% dari harga Rp 3.500 per kilogram (kg). Artinya, harga rotan mentah saat ini sekitar Rp 4.550 per kg.
Daripada membangun terminal rotan, Hatta berharap pemerintah bisa mengendalikan jumlah rotan yang diekspor, sehingga pasokan rotan di dalam negeri tetap ada. "Atau dengan membantu perajin berpromosi melalui berbagai pameran kerajinan," katanya, hari ini (29/4).
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI) Lisman Sumardjani berpendapat, dari pada membangun terminal rotan, lebih baik pemerintah menjadi mediator antara produsen dan perajin rotan agar permasalahan bahan baku di dalam negeri bisa terselesaikan.
"Lagi pula jika dibangun terminal rotan, pemerintah tidak akan ada anggaran untuk menyerap rotan dari produsen. Jadi, rasanya sulit terminal rotan direalisasikan," kata Lisman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News