Reporter: Djumyati Partawidjaja | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Tahukah Anda pada saat memasuki toko swalayan ada banyak produk yang berasal dari minyak sawit. Bukan hanya minyak goreng, produk turunan sawit bisa menjadi bahan baku untuk pembuatan margarine, cokelat, es krim, sampai sabun, lotion, dan pasta gigi.
Indonesia sebagai negara pengekspor terbesar sawit di dunia memang masih belum mempunyai banyak konsumen yang peduli. Jangankan peduli untuk membeli produk-produk dari produsen yang menjalankan praktik sawit berkelanjutan, bahkan untuk mengenali produk dari sawit saja belum tentu bisa.
Itulah sebabnya Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) menjalankan kampanye dengan tagar BeliYangBaik. “Selain sebagai produsen minyak kelapa sawit berkelanjutan terbesar di dunia, Indonesia juga dapat mengambil peran untuk mengonsumsi produk ramah lingkungan berbasis sawit berkelanjutan,” jelas Desi Kusumadewi Direktur RSPO Indonesia.
Caranya, mudah saja, para konsumen diharapkan mencari logo RSPO di kemasan produk untuk memastikan perusahaan menerapkan praktik sawit berkelanjutan. Selain tentu saja memantau di sosial media kampanye # BeliYangBaik.
RSPO sebagai asosiasi nirlaba berpusat di Zurich, berupaya menyatukan berbagai pemangku kepentingan dari industri kelapa sawit, yaitu produsen, pengolah atau pedagang, produsen produk konsumen, pengecer, bank dan investor, LSM konservasi lingkungan, dan LSM sosial untuk mengembangkan standar global minyak sawit berkelanjutan.
Menurut Edi Suhardi dari Agro Wahana Lestari, yang mewakili produsen sawit dalam acara peluncuran kampanye, ada 3 kategori konsumen. Konsumen di Eropa yang sudah maju dan hanya mau menerima standard RSPO plus, konsumen yang mau menerima standard RSPO, dan konsumen yang tidak peduli.
“Kami berharap konsumen di Indonesia punya peran untuk memperbaiki isu lingkungan,” ungkap Irwan Gunawan Deputi Direktur WWF Indonesia. Menurut Irwan, WWF melakukan survei di beberapa kota besar, ternyata konsumen banyak yang ingin tahu apakah produksi sudah ramah lingkungan atau belum. “Target kami tidak perlu 250 juta penduduk Indonesia, cukup 40 juta kelas menengah atas saja,” tambahnya.
Selain isu lingkungan, perkebunan kelapa sawit Indonesia memang banyak juga menimbulkan masalah sosial. “Kita eksportir minyak sawit mentah terbesar. Tapi ternyata banyak menimbulkan efek sosial di kita, seperti banyak perampasan tanah adat, konsesi untuk masyarakat yang tidak pasti, outsource yang merekrut tenaga kerja miskin dari seluruh Indonesia ,” tutur Jefri Saragih Direktur Eksekutif Sawit Watch. Menurut Jefri, persoalan terjadi karena banyak faktor, antara lain konsumen yang bodoh, donor LSM.
Itulah sebabnya, menurut Irwan sertifikasi RSPO ini mencoba memberikan gambaran yang adil untuk kiprah perusahaan sawit. “Sustainable itu adalah perjalanan adalah bagian dari evolusi bisnis sendiri,” tutur Irwan. Sampai saat ini memang baru ada 60 group perusahaan yang mengambil sertifikasi RSPO (termasuk Wilmar, Salim Ivomas, Sinar Mas, Cargill), padahal di Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) total ada 412 perusahaan sawit.
Walau hanya 15% perusahaan yang bergabung, Indonesia menjadi negara dengan penyumbang sawit bersertifikasi terbesar, yaitu menyumbang 51% dari 12 juta ton minyak sawit bersertifikat RSPO. Tren nya secara global, setiap tahun RSPO bisa menambah 500 ribu hektare atau setara dengan 2 juta ton sawit bersertifikasi.
Dengan kesadaran dari konsumen, Desi berharap akan terjadi pertumbuhan perusahaan yang lebih besar di Indonesia. “Kita berusaha untuk mendorong semua pihak. Termasuk produsen besar Unilever yang sebenarnya punya produk dengan label RSPO untuk memasukkan produknya di Indonesia,” tutur Desi. Selain itu RSPO juga mendorong bank (HSBC, Rabbobank, Citibank, Standard Chartered) untuk lebih mendukung perusahaan yang sudah bersertifikasi.
“Memang harus ada inisiatif, karena kalau kita tanya produsen menunggu konsumennya. Sementara konsumennya menunggu produk dari produsen. Kalau orang, gak jadi-jadi nikah ini. Kita semua berusaha menjadi perantaranya,” tandas Irwan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News