Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno menjelaskan, sistem penjualan listrik di Indonesia banyak penjual (multiple seller) tetapi yang membeli hanyalah PT PLN. Skema power wheeling, akan menciptakan pasar jual-beli listrik yang lebih hidup di mana ada multiple seller dan multiple buyer.
“Kami merasa skema power wheeling itu penting untuk mengakselerasi industri EBT. Kalau kami andalkan PLN saja maka akan memakan waktu lama, sekarang kan PLN masalahnya oversupply. Akan ada 7 Gigawatt (GW) yang akan masuk kebanyakan listrik dari fosil,” jelasnya saat ditemui di Jakarta, Senin (6/2).
Akibat kelebihan pasokan listrik, pengembangan EBT pun dinomorduakan. Eddy memaparkan PLN bersikeras agar skema power wheeling tidak diterapkan karena khawatir listrik yang luber ini akan lama terserap karena pihak lain mungkin akan lebih memilih menggunakan listrik bersih.
Untuk mengatasi persoalan ini, Komisi Energi pun mencoba jalan tengah dengan memperbolehkan skema ini diterapkan pada daerah yang sulit dijangkau dan belum memiliki jaringan PLN. Eddy berharap, upaya ini bisa menjadi solusi yang bisa diterima oleh pemerintah.
Namun, jalan tengah ala Komisi VII ini pun bukanlah solusi yang mudah diterapkan lantaran membangun jaringan di daerah terpencil butuh investasi yang besar.
“Jadi saya kira ini masalah tersendiri. Tapi dasarnya yang akan kami capai di situ, antara kita dengan pemerintah supaya di daerah yang masih sulit dijangkau belum ada jaringan PLN kita berikan kesempatan untuk pihak ketiga membeli energi,” ujarnya.
Baca Juga: Bauran Energi Terbarukan Masih Jauh dari Target 2025, Ini Strategi Kementerian ESDM
Selain skema power wheeling, RUU EBET juga akan memfasilitasi pemerintah memberi penugasan pada perusahaan setrum pelat merah maupun swasta untuk membeli listrik bersih. Skema ini sejatinya telah dijalankan di India melalui Renewable Purchase Obligation (RPO).
Jika berkaca dengan implementasi RPO di India, pemerintah India mengamanatkan semua pemegang lisensi distribusi listrik membeli atau memproduksi jumlah minimum yang ditentukan dari kebutuhan dari sumber energi terbarukan.
Negeri Bollywood ini memberlakukan penetapan persentase minimum dari total konsumsi listrik di area pemegang lisensi distribusi. Pembelian listrik ini akan menggunakan instrumen sertifikat energi terbarukan atau Renewable Energy Certificate (REC).
Pada Dokumen Draft DIM RUU EBET yang diterima Kontan.co.id, Pasal 44 Ayat 1 tertulis bahwa Badan Usaha di bidang penyediaan tenaga listrik yang bersumber dari energi terbarukan yang menandatangani Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) setelah Undang-Undang ini berlaku harus memenuhi standar portfolio energi terbarukan. Jika Badan Usaha tidak memenuhi standar portofolio Energi Terbarukan, maka Badan Usaha wajib membeli sertifikat energi terbarukan (REC).
Dadan Kusdiana menyatakan terkait skema semacam RPO dalam RUU EBET diatur dengan terminologi "standar portofolio energi baru dan energi terbarukan" yaitu standar minimum yang diterapkan kepada Badan Usaha yang membangkitkan listrik dari Sumber Energi Tak Terbarukan untuk menyediakan listrik dari Sumber Energi Baru dan Sumber Energi Terbarukan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif meyakini RUU EBET diperlukan sebagai regulasi komprehensif demi menciptakan iklim pengembangan EBT yang berkelanjutan dan berkeadilan.
“Di samping untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC) dan Net Zero Emission (NZE), RUU EBET juga mendukung pembangunan green industry dan pertumbuhan ekonomi nasional,” jelasnya dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR RI, Selasa (24/1).
Menteri ESDM berharap setelah terbitnya RUU EBET dapat memberikan kepastian dan landasan hukum bagi pengembangan energi hijau dan program pendukungnya. Selain itu, dia berharap kebijakan ini dapat memfasilitasi optimalisasi sumber daya EBT, memperkuat kelembagaan dan tata kelola EBT, serta menciptakan iklim investasi kondusif bagi investor energi hijau.
Tidak Sama Dengan Ekspektasi Pelaku Usaha
Meski pemerintah dan Komisi VII DPR RI begitu semangat dan percaya diri dengan RUU EBET, pelaku usaha energi terbarukan justru tidak begitu yakin melihat kebijakan yang sedang dibahas ini.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa, menilai format RUU EBET saat ini belum bisa mendorong pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
“Karena kalau saya lihat mendalam RUU ini tidak secara lengkap membangun ekosistem energi terbarukan mulai dari pendanaan, insentif, dan penciptaan industrinya. Padahal energi terbarukan ekosistemnya harus terbentuk,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Senin (13/2).